Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan sejumlah kekhawatiran mengenai kondisi ekonomi global dan Indonesia ke depan. Di antaranya adalah penurunan penerimaan pajak serta meruncingnya persaingan Amerika Serikat (AS)-China.
Berikut ini daftar ketakutan yang Sri beberkan terhadap isu ekonomi terkini.
1. Penerimaan Negara Anjlok
Penerimaan pajak turun hingga 8,4% menjadi hanya sebesar Rp760,4 triliun per Mei 2024. Penerimaan ini turun dibandingkan Rp830,5 triliun pada bulan yang sama 2023. Adapun, realisasi ini jika dibandingkan target pajak tahun ini yang dipatok sebesar Rp1.988,9 triliun baru mencapai 36,2%.
Sementara itu, total penerimaan hingga Mei 2024 juga hanya sebesar Rp1.123,5 triliun atau turun 7,1% dibanding periode yang sama tahun lalu Rp1.209 triliun.
Sedangkan dari sisi penerimaan kepabeanan dan cukai baru Rp109,1 triliun, atau turun 7,8% dibanding Mei 2023 yang sebesar Rp118,4 triliun. Dibanding target tahun ini yang dipatok sebesar Rp321 triliun pun baru terealisasi 34%.
“Ini tentu sesuatu yang perlu untuk terus kita monitor dan waspadai,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN edisi Juni, Kamis (27/6/2024).
Sri menyampaikan bahwa turunnya penerimaan itu memang masih dipicu oleh merosotnya berbagai harga-harga komoditas. Menyebabkan setoran penerimaan perpajakan, dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP ikut merosot.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) baru terealisasi Rp251,4 triliun atau turun 3,3% dari realisasi Mei 2023 yang sebesar Rp260 triliun. Dibanding target tahun ini yang sebesar Rp492 triliun sudah terealisasi sebesar 51,1%.
“Ini artinya kita capai 40,1% dari target APBN tahun ini, meskipun pencapaian untuk Mei dari persentase baik namun pertumbuhan dibandingkan tahun lalu terjadi penurunan,” tegasnya.
2. SAL vs Utang Baru
Pembiayaan anggaran hingga Mei 2024 mencapai Rp84,6 triliun atau turun 28,7% dari realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp118,6 triliun.
Padahal, pada periode Mei 2024 APBN mulai defisit senilai Rp21,8 triliun atau 0,1% terhadap PDB. Disebabkan belanja negara meroket tatkala penerimaan negara anjlok.
Belanja negara hingga periode itu naik 14% menjadi Rp1.145,3 triliun dari tahun lalu Rp1.004,9 triliun, sedangkan pendapatan negara turun 7,1% menjadi Rp1.123,5 triliun dari Rp 1.209 triliun.
Sri Mulyani mengatakan dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan anggaran, ia lebih memilih untuk memanfaatkan sisa lebih pembiayaan anggaran atau SiLPA.
Untuk membiayai kebutuhan pembiayaan belanja negara dalam APBN 2024, Sri Mulyani sebelumnya telah mengaku lebih condong memanfaatkan SiLPA 2023 sekitar Rp200 triliun.
3. Penyelamatan Industri Tekstil
Industri tekstil di Tanah Air sedang diterpa berbagai masalah, mulai dari kebangkrutan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sampai turun tangan untuk menyelamatkan industri tekstil.
Pengusaha dan buruh tampak berteriak mengingat semakin masifnya barang impor tersebar di Indonesia.
Selain itu, pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini pun berdampak besar terhadap industri ini.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan sektor industri yang akan paling terhantam depresiasi rupiah adalah manufaktur padat karya. Menurutnya, sektor industri tersebut adalah tekstil dan garmen.
“Industri tekstil dan garmen sudah lemah karena penurunan market share pasar domestik dan penurunan daya saing ekspor besar. Depresiasi rupiah semakin menekan sektor ini,” kata Shinta dikutip, Senin, (24/6/2024).
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa kondisi industri tekstil kelas menengah yang memiliki pekerja kurang dari 7.000 orang menjadi yang paling mengkhawatirkan.
Redma memperkirakan dengan kondisi rupiah seperti sekarang, maka industri tekstil kelas menengah tak punya waktu lama untuk bisa bertahan. Dia memperkirakan mereka hanya akan mampu bertahan selama 3 bulan.
Menanggapi chaos yang ada, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah memfinalisasi pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) tambahan untuk industri yang terdampak serbuan barang impor.
Sri Mulyani Indrawati mengatakan khusus untuk aturan pengamanan di sektor kain ada aturan baru, namun bentuknya perpanjang kebijakan BMTP yang akan habis masa berlakunya pada November 2022.
Sementara itu, untuk penerapan BMTP lain di sektor tekstil dan produk dari tekstil (TPT) atau garmen, alas kaki, elektronik, keramik, dan tas yang dimintakan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, masih harus menunggu surat detailnya dari dua kementerian itu.
Sri Mulyani memastikan yang jelas kebijakan pemberantasan ini akan terus diarahkan untuk memberi perlindungan yang adil dan wajar bagi industri dalam negeri terhadap persaingan yang dianggap tidak adil dan tidak wajar, terutama dengan munculnya impor dari barang-barang yang berasal dairi negara-negara yang punya surplus banyak dengan kita.
4. Melonjaknya Subsidi BBM
Sri Mulyani mengatakan belanja subsidi hingga Mei 2024 telah mencapai Rp77,8 triliun, naik 3,7% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp75,1 triliun. Level belanja di atas Rp70 triliun itu telah terjadi sejak 2022 yang sebesar Rp75,4 triliun.
Pada tahun-tahun sebelumnya, seperti pada 2020, belanja subsidi hanya sebesar Rp48,9 triliun. Pada 2021 pun sebetulnya telah melonjak 15,7% namun masih pada level Rp56,6 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan untuk belanja subsidi itu terdiri dari belanja subsidi untuk bahan bakar minyak atau BBM sebesar 5,57 juta kiloliter, turun 1% dibanding bulan yang sama tahun lalu 5,63 juta kiloliter.
Belanja subsidi LPG 3 kg sebesar 2,7 juta metrik ton, naik 1,9% dibanding Mei 2023 sebesar 2,6 juta metrik ton. Subsidi listrik naik sebesar 3,1% dari 39,2 juta pelanggan menjadi 40,4 juta pelanggan.
Adapula untuk subsidi penyaluran kredit usaha rakyat atau KUR naik 42,9% dari Rp 80,3 triliun menjadi Rp 114,7 triliun. Jumlah debitur KUR nya naik 33,4% dari 1,5 juta orang menjadi 2 juta orang.
Secara total, Sri Mulyani mengatakan, realisasi subsidi sebesar Rp 77,8 triliun ini berasal dari realisasi subsidi energi yang sudah mencapai Rp 56,9 triliun, dan non subsidi energi Rp 21 triliun.
5. Persaingan Perang Dagang Berpotensi Meluas
Selain ketegangan politik, Sri Mulyani mengatakan ada ketegangan baru di sektor perdagangan, industri dan investasi global.
“Banyak negara telah lakukan pre-emptive untuk jaga kepentingan nasional baik untuk industri strategi atau perekonomian nasional. AS lakukan chip act, Eropa buat green deal industry,” papar Sri.
Selain AS dan Eropa, India juga melakukan hal serupa, yakni production-linked incentives dan ada pula larangan ekspor critical mineral di RRC, dan Korea Selatan chip act.
Kemudian, Sri Mulyani melihat sisi hubungan antar negara dan kondisi dari hubungan negara global berubah drastis 5 tahun terakhir. Ada peningkatan sanksi dan restrukturisasi alami eskalasi seiring munculnya persaingan negara yang sengit.
“Ada 2019 sanksi dan restriksi982…Sekarang capai 3.000 measures (tindakan) ini yang menimbulkan makin banyak ketegangan,” ungkapnya.
Sumber : Cnbcindonesia.com
Leave a Reply