Bumi Kini Terancam, RI Tawarkan Solusi Jitu di KTT PBB

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin menyatakan Indonesia bisa mengambil momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terkait perubahan iklim sebagai negara tujuan investasi hijau.

Hal ini mengingat, Indonesia memiliki potensi besar untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan dan sektor energi dan transportasi sebesar 650 Mton CO2e dan 398 Mton CO2e, jika dibantu oleh pendanaan internasional.

Dalam gelaran yang akan dilaksanakan di Glasglow, Skotlandia pada 31 Oktober – 12 November 2021 tersebut membahas empat agenda.

Pertama, menyetujui langkah perubahan komitmen pengurangan emisi. Kedua, memperkuat adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Ketiga, mengalirkan pendanaan untuk aksi iklim. Keempat adalah meningkatkan kerjasama internasional dalam transisi energi dan transportasi ramah lingkungan.

Masyita mengajak seluruh pihak untuk berinvestasi untuk ketahanan dalam perubahan iklim. Investasi yang harus dilakukan dalam ketahanan perubahan iklim di antaranya self-protection dengan masyarakat mengambil langkah proaktif untuk meminimalkan dampak perubahan iklim. Investasi swasta juga sangat dibutuhkan karena dana publik saja tidak akan cukup untuk dapat mencapai tujuan net zero seperti yang diharapkan. Kerjasama seluruh pihak sangat penting.

“Perubahan iklim sangat berdampak kepada seluruh masyarakat dunia sehingga perlu dilakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon. Namun pada prinsipnya transisi yang dilakukan haruslah transisi yang just dan affordable,” kata Maysita, dalam keterangannya, Minggu (31/10/2021).

Masyita yang juga merupakan anggota delegasi Indonesia dalam COP26 ini menjelaskan, negara-negara maju harus mewujudkan janji mereka dalam Long-term Finance (LTF) untuk memobilisasi setidaknya US$ 100 miliar dalam pendanaan iklim per tahun pada 2020 kepada negara berkembang dan kurang berkembang dalam transisi dan mencapai target iklim mereka. Terlebih, Long Term Finance (LTF) merupakan janji negara-negara maju yang tertuang dalam Paris Agreement.

Menurutnya, LTF ini merupakan agenda prioritas terkait pembiayaan iklim di COP26 dari berbagai negara. “Indonesia memandang COP26 harus menetapkan timeline, indikator, sistem monitoring, bentuk pembiayaan, dan milestone yang jelas untuk memobilisasi pembiayaan global untuk mendukung tercapainya tujuan iklim yang lebih ambisius namun just and affordable,” ucapnya.

Dalam menghindari perubahan iklim, kata dia, Indonesia telah melakukan berbagai upaya, di antaranya menginisiasi sistem penganggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging dalam APBN. Selama 2016-2019, rata-rata realisasi belanja untuk perubahan iklim sebesar Rp 86,7 triliun per tahun. Selama 5 tahun terakhir, rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim di APBN mencapai 4,1% per tahun.

Tidak hanya itu, Indonesia juga telah menggunakan instrumen carbon pricing yang terdiri dari carbon tax dan carbon trading dalam pengendalian perubahan iklim yang salah satunya melahirkan pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

“Pajak karbon dan pasar karbon yang akan dibentuk menjadi satu ekosistem yang dapat mendukung pendanaan perubahan iklim di Indonesia, dengan sistem cap and tax dan cap and trade” ungkap dia.

Menurut Masyita, saat ini, Indonesia tengah merancang Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon yang salah satunya mengatur mekanisme perdagangan karbon. Perpres tersebut akan melengkapi sederetan kebijakan yang digunakan untuk pengendalian perubahan iklim sekaligus sebagai sumber pendanaan. Contoh negara lain yang juga akan memulai kebijakan perdagangan karbon adalah Singapura. Singapura berencana meluncurkan suatu bursa perdagangan karbon pada akhir 2021.

“Penerapan cap-and-tax dan cap-and-trade yang menjadi satu ekosistem pendanaan perubahan iklim akan menjadi enabling environment bagi pengembangan pendanaan untuk mencapai target NDC Indonesia. Voluntary market untuk pasar karbon sudah terjadi dan saat ini sedang dilakukan pilot project di BUMN kita seperti PLN dan sedang dibangun pasar karbon antar BUMN yang surplus dan defisit carbon credit. Diharapkan langkah awal ini dapat menjadi bibit untuk pengembangan pasar karbon secara menyeluruh,” tutupnya.

Sumber : CNBCIndonesia, Minggu, 31 Oktober 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only