Cuan Lebih Optimal dari Aset Saham

Aset saham berkinerja paling apik pada kuartal pertama 2022. Bagaimana saran portofolio memasuki kuartal kedua?

Memasuki kuartal kedua 2022, Anda berniat untuk menata lagi keranjang portofolio? Sebelumnya, mari tengok dulu rapor portofolio di tiga bulan pertama. Sejumlah instrumen investasi mulai membuahkan cuan, dengan saham jawaranya.

Harga saham domestik merekah di kuartal pertama, yang terefleksi pada kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 7,44% ke level 7.071 hingga Kamis (31/3). Ini rekor tertinggi sepanjang masa atau all time high. Performa lebih apik lagi ditorehkan saham big caps. Indeks LQ45 menanjak hampir 10%.

Alhasil, rapor instrumen turunan seperti reksadana saham juga apik. Menurut data Bareksa, indeks return reksadana saham mencapai 4,19% hingga Rabu (30/3). Performa terbaik di antara reksadana konvensional lainnya.

Amunisi penguatan saham bersumber dari lonjakan harga komoditas di pasar global, sebagai imbas konflik di Ukraina. Indonesia sebagai eksportir komoditas diuntungkan. Investor asing memburu saham-saham blue chip. Apalagi, ada tambahan tenaga dari musim rilis laporan keuangan emiten tahun 2021 yang relatif membaik serta pembagian dividen.

Bukan hanya saham yang menuai untung di triwulan pertama. Pamor emas menguat di tengah konflik dan risiko tingginya inflasi global. Tak heran, performa aset lindung nilai alias safe haven hampir menyaingi kinerja aset berisiko saham.

Emas Antam ukuran 1 gram, misalnya, naik 5,2% pada kuartal pertama. Hingga kamis (31/3), logam mulia dihargai Rp 987.000. Pada 9 Maret lalu, harganya bahkan sempat dibanderol Rp 1.036 juta. Saat itu, harga emas spot berhasil menembus US$ 2.050 per troi ons. Hanya belakangan ini, normalisasi suku bunga bank central Amerika Serikat (The Fed) menjegal laju emas.

Performa sebagian aset valuta asing (valas) memang kurang agresif. Ini lantaran rupiah stabil dengan dukungan fundamental domestik. Dollar AS (USD), misalnya hanya mencetak kenaikan kurang dari 1%. Mata uang berjuluk the greenback ini hampir stagnan kendati ada katalis kenaikan bunga. Yang tampil lebih bertenaga mata uang komoditas, seperti dollar Australia.

Sebaliknya, rapor obligasi negara dan kripto mengecewakan. Dua jenis instrumen yang berkinerja moncer pada tahun lalu, justru meredup di awal 2022. Pada tiga bulan pertama, total return investasi obligasi negara -0,19%. Dus, imbal hasil reksadana fixed income ikut minus 0,38%. Hanya, obligasi korporasi yang positif.

Pasar obligasi negara tertera di tengah kenaikan suku bunga AS. Di negeri Uwak Sam, yield US Treasury tenor 10 tahun sempat mendaki hingga ke 2,47% pada 25 Maret lalu, sebelum melandai di 2,32%.

Imbasnya, yield surat utang negara (SUN) naik, yang berarti harganya melemah. Hingga Kamis (31/3), yield seri FR0091 acuan tenor 10 tahun berada di level 6,72% naik dari posisi akhir tahun lalu 6,27%.

Mayoritas aset kripto gagal menampilkan performa yang apik. Kripto terpopuler bitcoin (BTC) turun -1,10% pada kuartal pertama, meski kini mencoba bangkit. Pasar aset kripto melandai dipicu aksi profit taking di tengah ketidakpastian akibat perang. Sebagian investor bergeser ke saham global yang dalam penguatan.

Aset unggulan

Rapor kuartal pertama memberi gambaran potensi imbal hasil setahun ini. Hanya, perubahan arah masih bisa terjadi ke depan. Nah akankah aset saham masih jawara hingga tutup tahun?

Irwanti, investment Director Schroders Indonesia, menaksir pasar saham tahun ini positif. Alasannya, tahun ini sebagai recovery yang menarik dana asing masuk. Harga komoditas yang kuat berdampak baik pada kondisi makroekonomi mengingat Indonesia negara net eksportir komoditas, seperti CPO dan batubara.

Memang masih ada risiko dari perang serta laju inflasi global yang tinggi. “Tetapi posisi eksternal makro Indonesia seperti current account dan cadangan devisa di posisi sehat dan cukup untuk membuat Indonesia defensif,” papar dia.

Di waktu yang sama, menurut Irwanti, rotasi dana asing dari China dan Rusia juga membuat Indonesia sebagai salah satu beneficiary, sehingga menopang pasar saham. Maka, tahun ini, saham blue chip memiliki prospek yang baik.

Optimisme lebih besar karena pada kuartal kedua ada momentum Lebaran. Pemerintah telah melonggarkan aturan mobilitas. Selama kasus Covid-19 bisa terkontrol, kata Irwanti, musim Lebaran diprediksi bisa membawa sentimen positif bagi saham.

Ivan Jaya, Chief of Retail & SME Business Commonwealth Bank, melihat potensi hadirnya lebih banyak emiten baru di sektor teknologi pada tahun ini akan memberikan sentimen positif. Ini dapat menambah daya tarik masuknya dana asing.

Sebelumnya, Gema K. Darmawan, Investment Strategist & Senior Portofolio Manager Samuel Aset Manajemen (SAM), menaksir IHSG berpotensi mencapai kisaran 7.300 pada tahun ini. Laju pasar saham akan didukung oleh pertumbuhan ekonomi. Dus, tahun ini, reksadana berbasis saham berpeluang menghasilkan return berkisar 10% sampai 12%.

Memang masih ada risiko hengkangnya asing dari pasar modal Indonesia apabila The Fed terpaksa lebih agresif mengerek bunga acuan demi mengekang inflasi. Tetapim pasar obligasi diramal lebih terpengaruh ketimbang pasar saham.

Irwanti melihat pasar obligasi menghadapi tantangan karena pembalikan kebijakan moneter The Fed dan segera disusul Bank Indonesia (BI). Meski begitu dampaknya diperkirakan terbatas, sebab kepemilikan asing di obligasi pemerintah telah susut menjadi 19% dari tingkat sebelum pandemi mencapai 40%. Di samping itu, risiko di pasar obligasi Rusia bisa memicu investor merotasikan dana ke obligasi emerging market lain, seperti Indonesia.

“Terlepas dari volatilitas di pasar obligasi, belum terlihat depresiasi besar rupiah atau overshoot pada yield obligasi pemerintah,” papar Irwanti.

Perkiraan Gema, tahun ini, ada potensi kenaikan bunga acuan Bank Indonesia sekitar dua kali atau 50bps. Dengan fenomena inflasi global dan rencana kenaikan bungan, akan berdampak pada fluktuasi harga obligasi ditaksir masih cukup terjaga.

Dari sisi total return (capital gain+kupon) berpotensi tetap positif. Hitungan Gema, reksadana berbasis obligasi atau fixed income masih ada ruang menghasilkan return 5%-7%.

Di sisi lain, dengan asumsi kenaikan bunga, maka reksadana pasar uang ada peluang membukukan return 3%-4%.

Ivan menduga stabilitas pasar obligasi masih akan terjaga, karena adanya lanjutan burden sharing pembelian obligasi negara antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.

Sejauh ini, performa obligasi korporasi lebih baik ketimbang obligasi negara. Menurut Imelda Tarigan, perencana keuangan independen, sentimen positif obligasi korporasi disongkong harapan pemulihan kinerja perusahaan setelah pelonggaran PPKM. Tetapi, dia mengingatkan, kenaikan PPN yang mulai berlaku 1 April berisiko memengaruhi cash flow perusahaan dan berdampak negatif pada kinerja bisnis, terutama yang terkait belanja ritel.

Saran Portofolio

Lantas, bagaimana rekomendasi portofolio untuk memaksimalkan imbal hasil?

Kata Irwanti, dengan melihat kondisi ekonomi dan risiko yang ada, maka, tahun ini aset saham lebih diunggulkan ketimbang obligasi. Toh, meracik portofolio harus kembali menyesuaikan profil risiko dan tujuan investasi. Bagi, investor dengan profil risiko agresif dan tujuan investasi jangka panjang, bisa mengambil peluang dengan berinvestasi pada kelas aset saham. Tapi, dengan tetap memperhatikan risiko seperti inflasi, perkembangan pandemi dan geopolitik.

Secara umum, kata Ivan, investor dapat menambah porsi kelas aset saham dan mengurangi porsi aset pasar uang. Alasannya, perbaikan ekonomi global yang sedang berlangsung akan turut mendorong kelas aset saham tumbuh lebih cepat dibandingkan kelas aset lainnya, meskipun volatilitas masih akan terjadi.

Dia mencontohkan, bagi nasabah profil risiko moderat, komposisi kelas aset saham dapat diperbesar menjadi 35% dari sebelumnya 30%. Di sisi lain, mengurangi porsi pasar uang dari 35% menjadi 30%.

Ivan bilang, dengan adanya potensi kenaikan BI rate, bagi investor konservatif atau defensif, instrumen pasar uang masih tetap menarik dibandingkan deposito.

Hanya, Imelda mengingatkan, meski pasar saham sedang uptrend secara teknikal, tetapi, secara fundamental masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan. Kondisi global juga masih penuh ketidakpastian dengan adanya lockdown di China, inflasi tinggi dan perang, yang memicu volatilitas komoditas dan likuiditas. Sehingga, dikhawatirkan dapat terjadi pembalikan arah pasar domestik secara tiba-tiba.

Volatilitas harga obligasi betenor pendek lebih rendah terhadap risiko kenaikan suku bunga acuan.

“Saya menyarankan investor membatasi investasi pada aset saham,” ujar Imelda.

Dalam masa ketidakpastian, lanjut Imelda, masih dibutuhkan alokasi portofolio pada kelas aset pasar uang. Sebab pasar uang sejatinya berfungsi sebagai pengaman cashflow. Potensi imbal hasilnya juga masih berpeluang menggemuk. Sebab, jika selisih antara suku bunga The Fed dan BI sudah lebar, mau tidak mau BI harus menyesuaikan suku bunganya.

Pada kelas aset fixed income, dengan mempertimbangkan adanya risiko pada obligasi korporasi, Imelda menyarankan, sebagai penyeimbang, investor tetap menempatkan sebagian aset pada obligasi negara baik obligasi ritel, SUN atau melalui reksadana.

Menurut Ivan, sebagai antsipasi volatilitas akibat kenaikan suku bunga, investor dapat mempertimbangkan obligasi tenor pendek. Volatilitas harganya lebih rendah terhadap kenaikan suku bunga acuan. Pilihan obligasi negara berisiko lebih rendah ketimbang obligasi korporasi, karena dijamin pemerintah dan likuid.

Irwanti sependapat obligasi negara tenor pendek sebagai pilihan fixed income yang tepat di tengah ketidakpastian investor global. Sebab, peminatnya didominasi investor lokal.

Instrumen alternatif, seperti emas dipandang tetap prospektif. Menurut Imelda, di tengah laju inflasi dan ketidakpastian perang, emas dapat menjadi jaring pengaman. Tapi, instrumen kripto belum dapat dipertimbangkan sebagai aset dalam menghadapi ketidakpastian.

Saran Imelda, investor konservatif meracik portofolio dengan porsi 60% pasar uang, 20% obligasi pemerintah, 10% obligasi korporasi, dan 10% emas. Sedangkan, bagi risk taker, direkomendasikan portofolio berisi 40% saham fundamental bagus, 20% obligasi, 30% money market, dan 10% emas.

Dengan pertimbangan emas sebagai instrumen yang cukup defensif, Ivan bilang, emas dapat dikoleksi rutin tanpa harus timing the market. Tentu dengan tujuan jangka panjang.

Adapun, valas fisik lebih cocok untuk investasi jangka pendek, karena tingkat volatilitasnya cukup tinggi dan tingkat risikonya moderat-agresif. Kalau ingin investasi valas, Saran Ivan, sebaiknya sesuaikan dengan tujuan investasi. Misalnya tujuan jangka panjang, bisa masuk melalui instrumen yang berdenominasi valas, seperti obligasi pemerintah Indonesia berdenominasi USD, atau reksadana offshore berdenominas USD.

Sumber : Tabloid Kontan 04-10 April 2022 hal 6,7


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only