Inggris ‘Kiamat’ Poundsterling! Indonesia Harap-Harap Cemas

Jakarta – Inggris kini sedang mengalami kiamat mata uang. Nilai tukar poundsterling secara mengejutkan ambruk hingga menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah melawan dolar Amerika Serikat (AS) Senin kemarin. Jebloknya mata uang Inggris tersebut turut menyeret euro hingga rupiah.

Penyebab ambruknya poundsterling karena para pelaku pasar yang pesimistis terhadap perekonomian Inggris. Pemerintah Inggris mengumumkan era baru perekonomian yang berfokus pada pertumbuhan, termasuk pemangkasan pajak serta insentif investasi untuk dunia usaha.

Para pelaku pasar khawatir utang Inggris akan kembali meningkat. Padahal rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini lebih dari 100%, tertinggi dalam 60 tahun terakhir.

Kebijakan pelonggaran fiskal yang dilakukan pemerintah juga berbanding terbalik dengan bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang mengetatkan moneter dengan menaikkan suku bunga guna menurunkan inflasi.

Dengan pemangkasan pajak, maka likuiditas di perekonomian tentunya bertambah, dan menurunkan inflasi semakin menantang. Apalagi dengan nilai tukar poundsterling yang jeblok, tekanan inflasi tentunya menjadi semakin besar.

Perekonomian Inggris, yang oleh BoE saat ini sudah mengalami resesi, bisa mendapat masalah dalam waktu yang lama.

Alhasil, dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona. Rupiah pun akhirnya ikut terpuruk 0,6% ke Rp 15.125/US$, terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir. Pada hari ini, rupiah semakin jeblok hingga 0,93% ke Rp 15.260/US$ pada pukul 9:40 WIB.

Pelemahan rupiah tersebut bisa berdampak pada semakin tingginya inflasi di dalam negeri. Bank Indonesia (BI) terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, tetapi tidak dengan menaikkan suku bunga secara agresif. Sejauh ini, BI baru menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali dengan total 75 basis poin.

Kenaikan tersebut jauh di bawah bank sentral AS (The Fed), BoE dan beberapa bank sentral utama dunia lainnya yang sudah berkali-kali mengerek suku bunganya.
Kenaikan yang agresif tersebut dilakukan guna meredam inflasi.

Namun, menurut Steven Forbes, ‘obat’ paling mujarab untuk menurunkan inflasi adalah stabilitas nilai tukar.

“Tidak ada bank sentral, hampir semua, yang membicarakan stabilitas nilai tukar mata uang. Mereka sedang membuat perekonomian tertekan untuk memerangi inflasi,” kata bos media Forbes ini, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (26/9/2022).

“Mereka melakukan dengan menaikkan suku bunga. Bisa jadi akan ada banyak PHK, itu bukan obat sebenarnya. Obat sebenarnya adalah menstabilkan nilai tukar mata uang, mereka tidak perlu membuat masyarakat menjadi miskin guna memerangi inflasi,” kata Forbes.

Artinya, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menstabilkan rupiah dan tidak agresif menaikkan suku bunga bisa dikatakan tepat berdasarkan pendapat Forbes.

Namun, dengan nilai tukar rupiah yang merosot menyusul poundsterling, tentunya bisa menjadi peringatan bagi BI untuk lebih waspada lagi, dan memastikan stabilitas rupiah guna menjaga inflasi.

Sumber : CNBC Indonesia


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only