Pungutan PPN Pinjol Dinilai Perlu Dikaji Ulang, Ini Alasannya

 Pemerintah diminta mengkaji ulang pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pinjaman online atau pinjol.

Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022 yang berlaku mulai 1 Mei 2022. Melalui PMK tersebut, jasa penyelenggara teknologi finansial wajib memungut PPN sebesar 11% atas layanan yang diberikan.

Jenis-jenis layanan fintech yang menjadi objek PPN antara lain penyediaan jasa pembayaran, settlement investasi, crowdfunding, peer-to-peer (P2P) lending, pengelolaan investasi, dan layanan jasa keuangan lainnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan, penerapan PPN tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) PPN sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 16 B ayat (1a) huruf j angka (4) bahwa jasa keuangan diberikan fasilitas PPN dibebaskan.

Terlebih lagi dalam UU HPP tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diatur bahwa Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

“Sedangkan P2P lending sendiri dikategorikan sebagai jasa keuangan lainnya sesuai dengan peraturan OJK, yakni POJK Nomor 77/POJK.01/2016,” ujar Ariawan dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (3/9).

Ariawan melihat, setidaknya ada tiga dampak atas lahirnya PMK 69/2022 tersebut. Pertama, pengenaan PPN terhadap industri peer to peer landing tidak tepat karena ada ikonsistensi.

“Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus konsisten dengan aturan yang ada bahwa jasa keuangan termasuk ke dalam Jasa Kena Pajak (JKP) yang dibebaskan pengenaan PPN-nya,” katanya.

Kedua, secara nature business, P2P lending tak ubahnya seperti lembaga jasa keuangan bank. Misalnya, melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada masyarakat melalui bentuk pinjaman. Dengan demikian, sudah sepatutnya dipandang sama dalam hal perlakuan PPN-nya.

“Bank bertindak sebagai bridge atau perantara, demikian juga dengan peer to peer lending company,” jelas Ariawan.

Ketiga, dengan pengenaan PPN ini, jelas secara tidak langsung yang akan menanggung beban adalah si pengguna jasa, yakni dalam hal ini pihak borrower.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan hendaknya perlu lebih bijak dalam menetapkan pengenaan pajak. Dalam konteks PMK 69 ini maksud awalnya adalah ingin melakukan upaya ekstensifikasi perpajakan, tetapi jangan sampai malah merusak ekosistem perekonomian kita,” tutur Ariawan.

Apalagi, atas perlakuan PMK 69/2022 ini, Ariawan sering kali mendengar adanya keluhan dari pelaku usaha P2P landing, di mana mereka diminta untuk membayarkan PPN-nya untuk periode sebelum PMK-69/2022 ini berlaku.

DJP beralasan bahwa PMK69/2022 bukanlah menetapkan objek pajak baru, melainkan hanya penegasan semata di mana P2P landing adalah sebagai platform teknologi yang mempertemukan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, kemudian P2P lending memperoleh komisi dari kegiatan tersebut.

“Ini jelas pemikiran yang keliru dan terkesan bekerja secara sembrono tanpa kaidah hukum berlaku. Petugas pajak atau fiscus memaksa pembayaran PPN sebelum era PMK 69/2022 ini, sedangkan pengaturannya saja baru diberlakukan sejak 1 Mei 2022. Kenapa malah meminta pembayaran untuk PPN di tahun-tahun sebelumnya?” kata Ariawan.

Ariawan mendorong pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lebih responsif dan peka terhadap keluhan yang ada di masyarakat, ketika ada praktik-praktik pemaksaan pembayaran pajak di luar kaidah hukum yang berlaku.

Untuk itu, Ariawan meminta otoritas pajak mengecek informasi tersebut agar ada solusi dan kesan humanis bahwa otoritas pajak telah bekerja dengan profesional, bertanggung jawab serta akuntabel.

Sumber : Nasiona.kontan.o.id


Posted

in

,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only