Rupiah dan Ekonomi RI Bisa ‘Tumbang’ Gara-gara Perang Dagang

Jakarta — Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, usai AS mengenakan tarif pada barang impor China di tengah-tengah negosiasi dagang antara kedua negara. Perang dagang tersebut berpengaruh pada perekonomian global, termasuk Indonesia.

Perang dagang adalah konflik yang terjadi akibat satu negara memberlakukan perlindungan dagang melalui kebijakan tarif dan non-tarif. Kemudian, negara mitra dagangnya membalas dengan kebijakan serupa, sehingga terjadilah perang dagang.

Perang dagang antara AS dan China bermula kala Presiden AS Donald Trump kesal dengan neraca perdagangannya yang selalu mencatat defisit dengan China. Sehingga menurutnya, proteksionisme adalah langkah tepat untuk mengeluarkan AS dari jebakan defisit dagang.

Pada 22 Januari 2018, AS mengerek bea masuk impor panel surya dan mesin cuci masing-masing menjadi 30 persen dan 20 persen. Sebulan kemudian, AS juga mengerek bea masuk produk baja China menjadi 25 persen dan aluminum sebesar 10 persen.

Setelahnya, China membalas perbuatan AS dengan mengerek empat kali bea masuk untuk produk impor asal AS. Sementara itu, AS membalas serangan China sebanyak lima kali.

Perang dagang seolah tak dapat dibendung, bahkan kian memanas.

Terakhir, AS menaikkan lagi bea masuk bagi produk China sebanyak US$200 miliar dari 10 persen menjadi 25 persen lantaran China dianggap menghambat jalannya negosiasi perang dagang. Tak mau kalah, China membalas perbuatan AS dengan menaikkan bea masuk dari 20 persen menjadi 25 persen bagi impor AS senilai US$60 miliar.

Perang dagang kedua negara ini disayangkan banyak pihak. International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia menilai perang dagang dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi global. Tak heran, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini dari dari 3,5 persen ke 3,3 persen, sementara Bank Dunia menurunkan proyeksinya dari 3 persen menjadi 2,9 persen.

Namun, kedua negara seolah tak peduli bahwa pertikaian dagang diantara keduanya sudah bikin dunia geger. “Perang dagang tidak akan selesai, dan pertumbuhan ekonomi global yang melemah harus mau menerima itu,” ujar Trump di pertemuan IMF-Bank Dunia bulan lalu.

Memang, AS dan China terletak beribu-ribu kilometer jauhnya dari Indonesia. Apa yang terjadi diantara keduanya seharusnya bisa dihiraukan Indonesia.

Namun, itu adalah anggapan keliru. Perang dagang dua negara besar itu dapat membuat perekonomian Indonesia kian buntung.

Analis Monex Investindo Dini Nurhadi Yahsyi mengatakan perang dagang yang tak kunjung usai sangat berpengaruh pada nilai tukar rupiah dalam sepekan terakhir. Pada Senin (6/5) pagi, rupiah sempat di posisi Rp14.298 per dolar AS. Namun, seminggu kemudian, rupiah bahkan menembus angka Rp14.445 per dolar AS.

Hal ini, lanjut Dini, tak lepas dari kepanikan pelaku pasar bahwa perang dagang tak akan usai. Padahal sebelumnya, perang dagang antara AS dan China diramal berakhir setelah delegasi AS datang ke Beijing pada April lalu.

“Yang membuat pelaku pasar panik adalah deal AS-China yang harusnya terjalin Jumat lalu, namun ternyata kesepakatannya malah sama-sama menaikkan bea masuk impor. Kekecewaan ini yang membuat pasar modal bergerak volatil, termasuk ke nilai tukar rupiah,” terang Dini.

Lebih lanjut ia menjelaskan alasan mengapa perang dagang sangat berkaitan erat dengan rupiah.

Menurut dia, ini dimulai dengan persepsi investasi penanam modal. Ketika investor ingin mengalirkan modalnya ke suatu negara, tentu pelaku pasar harus melihat prospek ekonomi negara tersebut.

Jika prospeknya baik, maka aliran modal akan masuk negara tersebut. Permintaan mata uang negara tersebut akan meningkat, dan memperkuat nilai tukarnya.

Namun, ketika prospek ekonomi suatu negara sedang tidak baik, pelaku pasar tentu akan memindahkan dananya ke negara lain yang punya ekonomi cenderung lebih stabil. Permintaan mata uang asing meningkat, sehingga nilai tukar mata uang domestik melemah.

Hal itulah yang saat ini terjadi dengan nilai tukar rupiah. Perang dagang antar dua negara besar akan berpengaruh pada kinerja ekspor global yang melemah, sehingga pertumbuhan ekonomi global juga ikut mandek.

Sekadar informasi, ekspor netto merupakan salah satu komponen pertumbuhan ekonomi selain konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah.

Pelemahan pertumbuhan ekonomi global inilah yang dikhawatirkan investor. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang mandek bisa membuat imbal hasil investasi mereka di masa depan juga tak pasti. a modal mereka dari negara berkembang seperti Indonesia ke negara dengan kondisi ekonomi yang lebih stabil (safe haven) seperti AS.

Tak heran, permintaan dolar AS meningkat, rupiah terjerembab dalam sepekan terakhir. Selain itu, pasar saham juga ikut bergejolak. Selasa (15/4), investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp998,81 miliar.

“Selain itu, perlu diingat bahwa perang dagang ini bisa saja menyebar ke negara-negara lain. Yang terdekat setelah China adalah barang impor dari Eropa. Jadi inti utamanya adalah trump memang istilahnya bersikap ‘egois’ karena dia memperjuangkan perekonomian negaranya sendiri,” jelas Dini.

Ia mengatakan, perang dagang masih akan menjadi pengaruh utama pergerakan rupiah hingga akhir pekan ini. Namun, kondisi ini bisa berubah asal ada data ekonomi dalam negeri positif. Data ini, tentu untuk meyakinkan investor bahwa menanam modal di Indonesia masih menguntungkan.

Namun, data ekonomi Indonesia sejak awal Mei masih belum positif. Inflasi meningkat, cadangan devisa menurun, hingga defisit transaksi berjalan yang melebar dibanding tahun lalu.

“Namun, sepertinya rupiah tidak akan jatuh hingga Rp15 ribu per dolar AS. Masih ada indikasi aksi ambil untung (profit taking) atas rupiah yang selama ini sudah melemah lima hari beruntun,” tutur dia.

Pertumbuhan Ekonomi Bisa Terhambat

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan perang dagang antara AS dan China juga bisa berpengaruh ke perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walhasil, pertumbuhan pendapatan masyarakat Indonesia juga bisa ‘buntu’.

Tauhid kemudian merinci, bagaimana perang dagang antara AS dan China bisa menular ke negara-negara lainnya.

Menurut dia, ketika kedua negara sibuk saling berbalas tarif, mereka tidak memahami bahwa perang akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi kedua negara. Ia mengutip studi KPMG tahun 2018 yang menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi China akan terkoreksi 1 persen di 2021, sementara pertumbuhan ekonomi AS akan terkoreksi 0,9 persen pada 2023 mendatang.

Masalahnya, China adalah mitra dagang utama Indonesia. Sebesar 14,12 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia sepanjang kuartal I tertuju ke China.

Sebagian besar impor China dari Indonesia adalah komoditas yang nantinya akan diproduksi dan diekspor ke negara lain. Jika kinerja ekspor China saja melemah gara-gara perang dagang, sudah pasti China akan mengurangi impor bahan baku produksinya dari Indonesia.

Dengan demikian, maka kinerja ekspor Indonesia terus melemah, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. BPS mencatat, neraca perdagangan Indonesia masih defisit US$193,4 juta sepanjang kuartal I.

Bahkan, ekspor Indonesia ke China pada kuartal I 2019 hanya tercatat US$5,24 miliar atau turun dari periode yang sama tahun lalu US$6,34 miliar. “Ini artinya jika benar-benar perang dagang, maka sudah pasti ekonomi Indonesia juga akan terimbas lebih besar,” jelas Tauhid.

Kemudian, ia juga mengutip sebuah studi yang menunjukkan bahwa penurunan 1 persen PDB China akan menurunkan PDB Indonesia sebesar 0,14 persen. Di sisi lain, penurunan PDB AS sebesar 1 persen akan menurunkan PDB Indonesia sebesar 0,05 persen. Oleh karenanya, pemerintah benar-benar harus mengantisipasi perang dagang secara serius.

Agar ekspor Indonesia tetap berjalan lancar, pemerintah dinilai perlu agresif. Salah satunya adalah berani penetrasi ke pasar ekspor baru selain China dan AS. Menurut dia, negara-negara Afrika, Amerika Selatan, dan Timur Tengah masih perlu dijajaki secara maksimal.

Selain itu, pemerintah harus benar-benar fokus mengidentifikasi negara yang menyumbang defisit neraca perdagangan paling besar agar tidak semakin membebani pertumbuhan ekonomi. Kebetulan, China kini menjadi negara penyumbang defisit terbesar, yakni US$5,18 miliar atau US$3,82 miliar sepanjang kuartal I 2019.

Untuk itu, pemerintah perlu mengidentifikasi jenis-jenis impor asal China yang paling besar, untuk kemudian disubstitusi dengan produksi dalam negeri.

“Tentu pemerintah harus mengantisipasi perlambatan ekonomi ini yang mulai dirasakan sejak 2019 hingga beberapa tahun mendatang,” pungkas dia.

Sumber : CNN Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only