Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan membeberkan penyebab rasio pajak Indonesia tertinggal dibandingkan Malaysia. Per 2018, rasio pajak nasional sebesat 10,3% sedangkan Malaysia sekitar 15%.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Kementerian Keuangan Yon Arsal menjelaskan rasio pajak Indonesia dihitung berdasarkan total penerimaan perpajalan dibagi produk domestik bruto (PDB).
“Kalau Indonesia, perlu hati-hati menjelaskan, saya mungkin klarifikasi, tax rasio itu mulai dari artian yang sempit, setengah luas, dan luas,” kata Yon saat acara Seminar Nasional Perpajakan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Yon menyebut, rasio pajak Indonesia yang sekarang sebesar 10,3% merupakan hasil dari total penerimaan perpajakan dalam hal ini pajak dan bea cukai dibagi dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Saat ini, pemerintah dalam perhitungannya pun sudah mulai memasukkan komponen PNBP, SDA, Migas, dan Pertambangan masuk dalam perhitungan, maka rasio pajaknya menjadi sekitar 11%.
“Sejak tahun 2014-2015, pemerintah menggunakan definisi yang menengah yaitu mencakup SDA, migas, dan pertambangan” ujar dia.
Menurut Yon, jika rasio pajak nasional menggunakan arti luas maka angkanya sekitar 13-13,5%. Itu pun, dengan catatan memasukkan seluruh komponen pajak, baik di pusat maupun daerah.
“Kita masukan PBB sebagai tax rasio, sekarang tidak, di tempat lain juga sama. Kalau 2018 10,3%, ditambah PNBP jadi 11%, sebenarnya tax rasio 13-13,5%,” ungkap Yon.
“Jadi tax rasio Malaysia itu 15%, gap-nya agak jauh, karena seperti bandinginapel dengan jeruk. Kalau yang setara 13% dengan 15%. kalau 10 ke 15 kan kesannya jauh sekali. kita sebenarnya tidak jauh juga,” tambahnya.
Sumber : Detik Finance
Leave a Reply