Kepatuhan “Si Miskin” Dan Pengampunan “Si Kaya”

Seorang karyawan swasta, LL, kebingungan saat menerima ‘surat cinta’ dari otoritas pajak karena belum melaporkan surat pemberitahuan (SPT). Bayangan denda seketika terlintas. Padahal, wajib pajak (WP) itu sama sekali tak berniat untuk melanggar kewajibannya sebagai warga negara.

Suatu hari, saat dia menginput data melalui fasilitas e-filing, SPT-nya selalu menampilkan catatan lebih bayar. Dia pun kebingungan lantaran belum pernah menghadapi situasi yang demikian.

“Apa karena saya pindah kerja, jadi perlu bukti potong dari peru- sahaan lama?,” tanya dia kepada Bisnis, belum lama ini.

Sebagai pegawai swasta di Ibu Kota, LL cukup kerepotan saat harus mengurus berbagai tetek bengek perpajakan yang seharusnya bisa dilakukan dalam sekali waktu. Apalagi, jika harus kembali ke kantor lama untuk sekadar meminta bukti potong setoran PPh karyawan.

Singkat kata, LL pun urung melaporkan SPT.

Kisah LL barangkali mewakili satu dari sekian banyak WP karyawan yang kerap mengalami kendala dalam pelaporan SPT.

Ini bukan karena tak ingin patuh, melainkan karena kesibukan dan administrasi perpajakan yang bagi banyak orang masih membingungkan.

Walau demikian, jika dibandingkan dengan WP lain baik itu korporasi atau orang-orang kaya, WP karyawan barangkali satu-satunya wajib pajak yang paling patuh di negeri ini.

Data Ditjen Pajak menunjukan, kepatuhan formal WP karyawan mencapai 10,17 juta atau 73,65%. Jumlah itu jauh di atas kepatuhan korporasi yang hanya sebesar 57,28% atau WP orang-orang kaya yang berada di angka 42,75%.

WP karyawan juga memiliki kontribusi ke penerimaan pajak yang cukup besar. Sampai semester 1/2019 lalu, realisasi PPh karyawan atau PPh 21 mencapai Rp78,08 triliun atau hampir 13% dari total penerimaan pajak.

Bandingkan dengan PPh orang pribadi (orang-orang kaya) yang sampai Juni lalu hanya menyetor pajak sebesar Rp7,9 triliun atau 1,3% dari realisasi penerimaan pajak semester 1/2019.

Padahal, orang-orang kaya ini sering mendapatkan fasilitas keringanan pajak melalui usaha yang dijalankannya. Namun, hal itu tidak lantas meningkatkan kepatuhan. 

Belum tuntas masalah kepatuhan, pemerintah menggulirkan wacana baru. Yakni program pengampunan pajak jilid II yang tentunya sebagian besar menyasar masyarakat kelas atas.

Selain dari sisi waktu relatif masih singkat, pengampunan pajak jilid I juga masih menyimpan berbagai persoalan yang belum tuntas.

Pertama, dari sisi jumlah WP, partisipasi kurang dari 1 juta. Artinya, terdapat puluhan juta yang tak memanfaatkan kesempatan tersebut. Ini juga bisa menjadi indikator bahwa tax amnesty belum optimal mendorong kepatuhan.

Kedua, deklarasi harta luar negeri yang mencapai Rp1.036,76 triliun mengindikasikan bahwa jumlah harta WP asal Indonesia di luar negeri belum sepenuhnya dideklarasikan. Padahal, diperkirakan ada sekitar Rp3.500 triliun–Rp11.000 triliun harta WNI di luar negeri.

Ketiga, nilai repatriasi yang hanya Rp146,7 triliun. Nilai ini pun belum sepenuhnya dipenuhi oleh WP yang memiliki komitmen repatriasi.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, pengampunan pajak yang diberikan menunjukkan kebaikan hati pemerintah untuk menunda penegakan hukum, dan seharusnya dimanfaatkan dengan maksimal oleh WP.

Pemberian tax amnesty dalam jangka pendek jelas menjadi sinyal bahwa pemerintah bisa diatur oleh segelintir kelompok kepentinga.

Hal ini juga akan melukai rasa keadilan peserta tax amnesty sukarela, serta bagi WP yang selama ini sudah patuh seperti LL.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only