JAKARTA. Senyum sumringah Shinta Widjaja Kamdani terus mengembang. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) ini penuh semangat menjawab pertanyaan seputar Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang sedang disiapkan pemerintah.
Maklumlah, di bakal beleid ini, pemerintah akan menebar cukup banyak insentif perpajakan bagi kalangan pengusaha. “Tentu, kami dari kalangan pengusaha sangat menyambut baik rencana tersebut,” kata Shinta gembira.
Menurutnya, pengusaha sangat membutuhkan insentif untuk bisa tumbuh optimal, sehingga bisa meningkatkan daya saing Indonesia di mata investor. “Saat investasi masuk, tentu roda perekonomian bisa berputar cepat. Khususnya industri padat karya, memang sangat membutuhkan insentif fiskal tersebut,” ujar dia.
Menurut Shinta, saat ini tren tarif pajak di negara-negara lain memang mengalami penurunan agar dapat menarik investasi. Contohnya Malaysia yang gencar melakukan pemotongan tarif pajak penghasilan (PPh) badan.
Sejak 2006, negeri jiran secara bertahap menggunting tarif PPh badan, dari 28% menjadi 24%. Sedang tarif PPh badan Indonesia masih anteng di posisi 25%. Menurut catatan KONTAN, tarif PPh badan di Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan dengan mayoritas negara-negara Asia Tenggara. Misalnya, PPh badan di Vietnam 20%, Thailand 22%, dan Singapura 17 persen. PPh badan Indonesia baru lebih rendah dari Filipina yang sebesar 30%.
“Jadi dalam kondisi sekarang pemerintah harus melakukan hal serupa agar tidak kalah saing dengan negara-negara lain,” ujar Shinta.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengaku pemerintah telah memiliki sejumlah strategi untuk meningkatkan daya saing investasi di dalam negeri. Salah satunya dengan cara menerapkan kebijakan fiskal.
Maka itu, pemerintah merasa perlu memberikan insentif perpajakan buat meningkatkan iklim investasi di dalam negeri. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah akan menyiapkan satu perangkat Undang-Undang khusus atau Omnibus Law yang mengatur tentang berbagai insentif fiskal tersebut.
Rancangan beleid tersebut akan mengakomodasi semua UU Pajak lainnya, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Jadi tujuan aturan baru ini untuk membuat ekonomi Indonesia kompetitif. Apalagi dalam situasi di mana seluruh perekonomian sekarang mengalami kelesuan,” kata Sri Mulyani.
Nah, soal penurunan PPh badan tadi menjadi salah satu insentif yang disiapkan dalam calon beleid tersebut. Rencananya pemerintah bakal memangkas tarif pajak ini menjadi 20%.
Selain PPh badan, fasilitas lain yang diatur dalam RUU baru nantinya adalah penghapusan PPh atas dividen dan dalam negeri dan luar negeri, relaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak (PKP), perubahan sanksi administrasi perpajakan, dan pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik.
RUU juga akan memasukkan fasilitas fiskal yang sudah eksis ke dalam satu bagian khusus, yaitu menyangkut pembebasan PPh (tax holiday), pengurangan penghasilan bruto (super deduction tax), PPh kawasan ekonomi khusus, dan PPh atas surat berharga di pasar internasional.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menargetkan, RUU itu sampai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir tahun ini. Robert juga berharap RUU tersebut bisa masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, dan ditargetkan bisa berlaku pada 2021. “Ini untuk menjawab tantangan ekonomi global,” ucap dia.
Seperti disebut dalam laporan Bank Dunia, dari 33 perusahaan China yang relokasi pabrik ke luar, sebanyak 23 merelokasi ke Vietnam, selebihnya ke Meksiko, Serbia, Thailand, dan Malaysia. Indonesia tak satupun menjadi pilihan.
“Oleh sebab itu disusunlah RUU perpajakan yang baru ini yang bertujuan untuk penguatan perekonomian, meningkatkan iklim usaha dan pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal pajak, menambahkan RUU perpajakan yang baru ini dirancang untuk memberikan kepastian tentang insentif perpajakan bagi pengusaha.
Hestu mencontohkan aturan tax holiday yang berakar dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 18 ayat 5 beleid itu menyebutkan, pemerintah bisa memberikan pembebasan atau pengurangan PPh dalam jumlah dan waktu tertentu dan hanya bisa diberikan bagi investasi baru di bidang industri pionir.
Begitu juga dengan fasilitas PPh bagi pengusaha yang berinvestasi di KEK. Saat ini, fasilitas tersebut hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan KEK.
“Tapi di UU PPh sendiri tidak ada aturan tentang itu. Oleh karena itu, supaya memiliki kepastian hukum yang lebih baik, sekalian dimasukkan dalam calon UU yang baru ini, supaya lebih clear bahwa ini fasilitas perpajakan,” jelas Hestu.
Hestu berharap, berbagai fasilitas tersebut bisa meningkatkan daya saing investasi, sehingga menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri.
Salah satu poin penting dalam RUU perpajakan baru ini adalah menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) Badan hingga 20%. Penurunan tarif PPh Badan tersebut dilakukan bertahap dari 25% menjadi 22% pada 2021, baru kemudian 20% mulai 2023.
Hestu mengakui, jika RUU ini diundangkan, maka akan terjadi potensial loss dari penerimaan perpajakan. Penurunan PPh badan menjadi 22% akan menimbulkan potensi kehilangan penerimaan sebesar Rp 52,8 triliun per tahun. “Sedangkan potensi kehilangan penerimaan akibat penurunan PPh badan menjadi 20% sebesar Rp 87 triliun per tahun,” kata Hestu lagi.
Penurunan tarif PPh badan juga berlaku untuk perusahaan yang baru melakukan penawaran saham perdana ke publik. Tarif PPh badan turun dari 5% menjadi 3% lebih rendah dari tarif normal, dan berlaku selama 5 tahun.
Persyaratan khusus terkait penurunan tarif PPh badan ini akan diatur dalam peraturan turunan. Insentif lain yang diberikan pemerintah lewat calon beleid ini adalah PPh atas dividen dari dalam negeri dan luar Negeri. Skemanya akan ditentukan berdasarkan objek pajak. Berdasarkan objek pajak dividen dari dalam negeri, bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri (WP Badan DN) dengan kepemilikan sama dengan atau lebih dari 25% (>25%), tidak dikenai PPh.
Sedangkan WP Badan DN dengan kepemilikan kurang dari 25% (< 25%) dikenai PPh tarif normal, kecuali diinvestasikan di Indonesia. Adapun dividen dari luar negeri, WP Badan dan WP Orang Pribadi Dalam Negeri akan dikenai tarif normal, kecuali bila diinvestasikan kembali di Indonesia dalam waktu tertentu.
“Jadi setiap penerimaan dividen yang langsung diinvestasikan, di RUU ini dibebaskan dari PPh,” ujar Hestu. Nah, dari penghapusan PPh Dividen diperkirakan potensi kehilangan penerimaan negara mencapai Rp 5 triliun sampai Rp 6 triliun per tahun.
RUU juga memberikan relaksasi terhadap hak untuk mengkreditkan pajak masukan. Relaksasi diberikan bagi pengusaha yang menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) setelah sebelumnya bukan PKP. Berbagai pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan, dalam RUU ini sekarang bisa dikreditkan dan diklaim untuk mengurangi kewajiban pajak.
Sanksi
Dalam RUU tersebut, pemerintah juga akan meringankan sanksi bagi wajib pajak yang kurang bayar. Contohnya sanksi denda bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tidak tepat waktu. Bila sekarang dikenakan denda 2% dari dasar pengenaan pajak, nanti hanya 1% saja.
Pemerintah juga akan menerapkan pengaturan ulang seperti sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan SPT Masa yang saat ini tarifnya sebesar 2% perbulan dari pajak kurang dibayar. Dalam RUU itu besaran tarif sanksi per bulan dihitung dari kalkulasi suku bunga acuan ditambah 5% dibagi 12 bulan.
Lalu, ada pula sanksi bunga atas kekurangan bayar karena penetapan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Saat ini, sanksinya sebesar 2% per bulan dari pajak kurang bayar. Kelak, besaran tarif sanksi per bulan berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% dibagi 12 bulan.
“Jadi terkait sanksi ini, kami punya paradigma baru bahwa kepatuhan pajak itu tidak harus diberi sanksi yang berat, tapi justru bagaimana kita membangkitkan kepatuhan dari aspek pelayanan dan pembinaan yang baik,” papar Hestu.
Poin penting lainnya yang akan diatur dalam UU perpajakan yang baru adalah pajak ekonomi digital. RUU tersebut menetapkan tarif definisi Badan Usaha Tetap (BUT) tidak hanya berdasarkan physical presence tapi juga berdasarkan significant economic presence atau Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang mempunyai aktifitas jual beli barang atau jasa di Indonesia .
“Tarif dan dasar pengenaan pajak sesuai ketentuan pajak penghasilan,” ujar Hestu. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir penghindaran pajak.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, RUU tentang PPh, PPh Badan, dan KUP tentunya bakal membantu pengusaha. “Ini merupakan terobosan yang baik. Terutama PPh Badan turun jadi 20% akan berdampak pada perluasan usaha,” katanya.
Menurutnya, dengan begitu investasi penanaman modal juga menggeliat. Setali tiga uang pertumbuhan ekonomi bisa membaik. Shinta menambahkan, seluruh insentif dan kelonggaran yang akan diatur dalam rancangan beleid tersebut sudah sesuai dengan masukan kalangan pengusaha.
Misalnya insentif tambahan untuk PPh badan go public company. Menurut Shinta, insentif tersebut penting buat meningkatkan transparansi dan memperbesar kapitalisasi pasar saham di Indonesia.
“Sementara penghapusan pajak dividen memang diupayakan agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tengah situasi yang melemah, baik faktor internal maupun eksternal,” ujar Shinta.
Shinta menyambut baik keringanan sanksi administrasi perpajakan. Menurutnya, sanksi 2% per bulan atau 24% per tahun memang dirasa terlalu tinggi. Sementara, pengenaan sanksi berlebih tidak membawa manfaat banyak bagi pemasukan pajak. “Yang diutamakan adalah sikap positif dan mendorong kepatuhan pajak,” ujarnya.
Sementara terkait pajak digital, dunia usaha mendukung level playing field antar pengusaha offline dan online. Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo memandang keputusan dan pertimbangan pemerintah memilih skema omnibus law patut diapresiasi sebagai sebuah terobosan.
Menurutnya, tantangan perekonomian yang dihadapi membutuhkan solusi yang cepat dan dapat langsung berdampak bagi dunia usaha. Di saat bersamaan Indonesia menghadapi kendala berupa kompleksitas regulasi, tumpang tindih kewenangan, dan prosedur perubahan UU dan aturan turunan yang tidak sederhana.
Namun demikian, menurut Yustinus, yang harus dijamin dan dikawal adalah aturan turunan teknis yang mendukung agar dapat dituntaskan secara cepat, jelas, dan pasti.
“Terkait reformasi perpajakan, secara paralel juga tetap perlu dituntaskan, termasuk agenda-agenda lain yang telah ditetapkan,” kata Yustinus.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply