Pengampunan pajak atau tax amnesty menjadi sebuah terobosan bombastis yang dilakukan oleh kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bisa dibilang, ini adalah sebuah ‘reformasi’ dalam sejarah perpajakan Tanah Air.
Banyak kalangan memuji langkah agresif yang dilakukan pemerintah. Para konglomerat kondang mulai melaporkan hartanya. Secepat kilat, kantor pajak menjadi sorotan karena hampir setiap hari didatangi oleh pengusaha kelas kakap.
Harus diakui, implementasi kebijakan tersebut merupakan rekonsiliasi antara wajib pajak dengan pemerintah. Pemerintah bisa mendapatkan dana dalam sekejap untuk melanjutkan pembangunan, dan wajib pajak bisa memperbaki kepatuhan tanpa harus takut dikejar-kejar sanksi yang tinggi.
Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Dibalik limpahan data ribuan triliun, ada beberapa hal yang patut menjadi catatan.
Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pa- jak yang ikut program pengampunan pajak kurang dari 1 juta orang, atau hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada 2017 yakni di angka 39,1 juta.
Sementara itu, untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada di angka Rp165 triliun.
Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.
Catatan miring lain yang menyelimuti pengampunan pajak adalah kenyataan bahwa program tersebut menjadi modus para kriminal untuk menghindar dari kewajiban perpajakan.
Kabar inipun secara tidak langsung juga telah dikonfirmasi oleh salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan kepada Bisnis.
Tak heran sebenarnya jika hampir 3 tahun pascapelaksanaan tax amnesty, tingkat kepatuhan wajib pajak juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Apalagi data per September 2019 menunjukkan rasio kepatuhan wajib pajak masih di angka 70%. Angka tersebut jauh dari standar yang ditetapkan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yakni di angka 85%.
Di sisi lain, dana repatriasi tax amnesty yang sudah jatuh tempo mencapai Rp12,6 triliun.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan, dana repat- riasi Rp12,6 triliun didapatkan dari tax amnesty periode pertama yang berlangsung dari Juli hingga September 2016 lalu.
Dana pada periode pertama tersebut merupakan jumlah yang holding periodnya sudah kadaluarsa.
“ Holding periodnya sudah selesai September 2019 lalu,” kata Robert.
Dia melanjutkan, total dana yang direpatriasi selama tiga periode program pengampunan pajak masuk melalui gateway penampung dana repatriasi seperti bank dan sisanya melalui potongan biaya balik nama saham atau crossing.
Berdasarkan laporan dari lembaga-lembaga penampung dana repatriasi, hingga 31 Agustus 2019, belum ada pergerakan dana yang signifi kan. Robert pun meyakini dana repatriasi tidak akan menimbulkan pergerakan dana ke luar negeri.
PROGRAM LANJUTAN
Menjelang berakhirnya pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo, tiba-tiba isu ini kembali ramai dibicara- kan masyarakat kendati masa pelaporan telah berakhir. Penyebabnya adalah, wacana adanya program pengampunan pajak lanjutan, yakni tax amnesty jilid II.
Beberapa waktu lalu pakar pajak DDTC Darussalam menganggap setelah pengampunan pajak, tak ada lagi pengampunan pajak jlid 1 atau 2. Penegakan hukum harus menjadi prioritas, terutama bagi wajib pajak yang tidak pernah atau setengah hati dalam mengikuti pengampunan pajak.
Bagi pihak yang pro, tentu ini menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk kembali meningkatkan penerimaan melalui harta orang kaya yang belum sempat dilaporkan pada program yang dibuka sebelumnya.
Namun untuk pihak yang kontra, tentu ini tidak akan menguntungkan mengingat banyaknya target gagal yang dicatatkan pemerintah dalam implementasi sebelumnya.
Tak heran jika melihat fakta-fakta tersebut, sejumlah pengamat mendorong otoritas pajak untuk melakukan penindakan hukum yang proporsional.
Penegakan hukum yang konsisten dan proporsional, tidak hanya memberi efek jera kepada wajib pajak tak patuh, tetapi juga memberikan keadilan bagi wajib pajak yang telah memenuhi semua kewajibannya.
Sumber : Harian Bisnis Indonesia
Leave a Reply