Omnibus Law Jadi Kesempatan UMKM Naik Kelas

Jakarta, Pengamat Ekonomi dan Perpajakan Yustinus Prastowo, mengaku setuju dengan adanya omnibus law. Dengan adanya aturan baru tersebut bisa membedakan antara pengusaha makro dan mikro.

“Menurut saya, mumpung ini ada omnibus law, jangan bias pengusaha besar, jangan bias industri besar saja, tapi sekaligus ini untuk mendorong, menginklusi, mengarusutamakan UKM yang industri kecil,” kata Yustinus saat ditemui dalam acara Penerimaan Tim Omnibuslaw, di ruang kerja Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Jakarta (6/1/2020).

Adanya aturan omnibus law bisa menjadi peluang atau kesempatan bagi UKM, untuk memperoleh insentif dan perlakuan yang berbeda.

“Supaya apa? Supaya bisa berkompetisi, bersaing dengan yang besar, karena selama ini, sebagai contoh sisa hasil usaha koperasi kan masih objek PPH,” jelasnya.

Menurutnya, risiko yang dibahas melalui Undang-Undang dalam omnibus law, tidak bisa dibahas lagi dalam Prolegnas. Pihaknya mengkhawatirkan bahasan tentang UU BPH dan PPh, karena pembahasannya akan lebih sulit lagi, untuk mengintegrasikan kebijakan pajak untuk UKM.

Sementara itu, korporasi sendiri bisa mendapatkan pengurangan tarif dan sebagainya, namun bagi Koperasi tidak bisa melakukan hal yang sama.

Menurutnya, dilihat dari pencabutan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, hal itu mengabaikan fakta bahwa ada pelaku usaha kecil selain menengah, yang diperlakukan sama.

“Kalau UKM diatur seperti sekarang sampai omzet Rp 4,8 miliar itu 0,5 persen, itu mengabaikan fakta ada yang mikro, kecil, selain yang menengah. Semua dianggap menengah, sehingga perlakuannya sama,” ungkapnya.

Ia kira hal tersebut bisa menghambat pertumbuhnya UKM, selain itu dengan lamanya menunggu revisi UU PPh, dan PPN, juga bisa menghambat.

“Nah kalau kita nunggu revisi UU PPh, PPN, itu butuh waktu lama, sedangkan ingin mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat, menurut saya ya saatnya ini,” jelasnya.

Lebih Cepat

Menurutnya diperlukan masukkan satu payung pasal dalam UU omnibuslaw perpajakan ini, sehingga turunannya nanti tidak perlu UU lagi, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, atau Peraturan presiden, agar lebih cepat.

Selain itu, turunan tidak perlu dirubah melainkan direformasi untuk membedakan usaha mikro dan menengah dengan usaha makro.

“Kalau usulan saya sampai Rp 300 juta itu mikro kan, itu bisa dikenai hanya 0,1 persen misalnya, setelah itu kan kecil sampai Rp 1,8 miliar, itu bisa dikenai 0,5 persen, setelah itu baru dikasih 1 persen. Jangan seperti sekarang, karena itu kan harus naik kelas,” pungkasnya.

Sumber: liputan6.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only