Ekonomi Indonesia di 2020 ini diprediksi menghadapi tantangan yang nyaris sama seperti tahun lalu, bahkan bisa jadi lebih berat. Memanasnya konflik antara Amerika Serikat (AS) versus Iran dan kembali menghangatnya suhu geopolitik di beberapa titik dunia, akan mendominasi nasib ekonomi di Indonesia.
Di pengujung tahun lalu, sebenarnya kabar baik datang dari Amerika Serikat dan Tiongkok yang merampungkan kesepakatan dagang tahap pertama. Sejumlah langkah rujuk telah dilakukan kedua negara, di antaranya menghapus sejumlah tarif yang menjadi senjata mereka selama perang dagang.
Perang dagang menjadi faktor utama yang menimbulkan ketidakpastian global dalam hampir dua tahun terakhir. Faktor ini membuat Bank Dunia dan IMF sepanjang tahun lalu sibuk merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2019 dan 2020.
Pada Juni, Bank Dunia memangkas prakiraan pertumbuhan ekonomi global 2019 dan 2020 menjadi 2,6% dan 2,7% dari proyeksi yang dibuat pada Januari sebesar 2,9% dan 2,8%.
Sementara IMF beberapa kali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global sepanjang tahun lalu. Terakhir pada Oktober, IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi global sebesar 3% pada 2019 dan 3,4% pada 2020, jauh dari proyeksi yang dibuat pada Januari sebesar 3,5% dan 3,6%.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 merupakan yang terendah sejak krisis keuangan global. Tahun 2018, pertumbuhan ekonomi global tercatat sebesar 3,6%, melambat dibanding 2017 yang mencapai 3,8%.
Menurut IMF, perlambatan yang tajam pada sektor manufaktur dan perdagangan global menjadi dasar penurunan proyeksi tersebut. Perang tarif antara AS dan Tiongkok menjadi pemicu utama. Pertumbuhan volume perdagangan pada paruh pertama 2019 hanya mencapai 1%, terlemah sejak 2012.
Meski kesepakatan dagang tahap pertama rampung, kedua kepala negara belum meneken naskah kesepakatan tersebut. Kesepakatan dagang tahap selanjutnya juga diperkirakan bakal lebih rumit dan penuh ketidakpastian.
Oleh karena itu, perang dagang diperkirakan masih akan menjadi salah satu risiko perekonomian global tahun ini. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva memperkirakan perang dagang yang berlarut-larut dapat menggerus 0,08% produk domestik bruto atau PDB dunia atau US$ 700 miliar pada 2020.
“Sebagai perbandingan, nilai tersebut hampir setara dengan perekonomian Swiss,” ujar Georgieva dalam pidatonya awal Oktober lalu.
IMF memproyeksi dunia kehilangan PDB sebesar hampir US$ 500 miliar pada 2019. Ini seiring perlambatan ekonomi yang terjadi pada hampir 90% negara di dunia.
Riset Fitch Ratings dan Oxford Economics juga menunjukkan, eskalasi perang dagang menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan global pada 2020, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.
Risiko Geopolitik: Brexit hingga Konflik AS-Iran
Selain perang dagang, terdapat sejumlah risiko geopolitik yang juga menghantui perekonomian 2020, di antaranya pemakzulan Presiden Donald Trump dan pemilihan presiden AS pada November 2020.
Namun, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai pemakzulan Trump tak akan berdampak signifikan pada perekonomian global tahun ini. Pasalnya, proses pemakzulan Trump masih harus melalui sidang Senat yang saat ini mayoritas diduduki oleh Partai Republik yang merupakan pendukung Trump.
“Dasar asumsi kami terkait ekonomi global adalah masih dengan Presiden Trump sebagai Presiden AS, bahkan sampai dengan 2024,” kata Andry.
Selain pemakzulan dan pilpres, konflik antara Amerika Serikat dan Iran yang makin memanas juga meningkatkan risiko. Konflik kedua negara memanas setelah Pemimpin Militer Iran Qasem Soleimani meninggal dalam serangan Negara Paman Sam tersebut.
Adapun faktor risiko geopolitik lainnya adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit dan perkembangan demonstrasi di Hong Kong.
“Ada khawatiran keluarnya kesepakatan terkait Brexit yang mungkin akan mendorong Inggris ke dalam resesi pada 2020 dan menyebabkan gangguan sektoral di Eropa,” ujar Kepala Ekonom OECD Laurence Boone.
Risiko resesi menghantui perekonomian Inggris sejak tahun lalu. Namun, perekonomian yang membaik pada kuartal III membuat negara ini berhasil lolos dari resesi teknis atau pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Selain Inggris, risiko resesi juga dihadapi oleh Singapura, Hong Kong, Turki, Meksiko, Argentina, dan Jerman. Sebagian disebabkan oleh perlambatan ekonomi global akibat perang dagang.
Boone juga menilai risiko utang pemerintah dan korporasi yang meningkat di sejumlah negara emerging dan kredit macet dapat membebani perekonomian tahun ini.
Di sisi lain, menurut dia, risiko-risiko perekonomian global tahun ini akan mendorong pemerintah dan bank-bank sentral di seluruh dunia berlomba mengeluarkan stimulus untuk mendorong perekonomiannya. Kebijakan moneter bank sentral AS The Federal Reserve menjadi salah satu yang paling berpengaruh.
Bank Sentral AS pada tahun lalu telah menurunkan suku bunga acuannya sebanyak tiga kali. Tahun ini, The Fed diperkirakan akan kembali menurunkan Fed Fund Rate.
Kondisi pelambatan ekonomi global yang berdampak pada Indonesia dipahami betul oleh Presiden Joko Widodo. Dalam pidatonya beberapa waktu lalu, Jokowi bahkan menyebut Indonesia perlu mengadaptasi tiga nilai dari film Cast Away yang diperankan Tom Hanks untuk bertahan di tengah ketidakpastian global.
Film Cast Away bercerita mengenai Chuck Noland yang diperankan Tom Hanks bertahan hidup selama empat tahun di sebuah pulau tak berpenghuni lantaran pesawat yang ditumpanginya terjatuh.
“Saya melihat ada tiga nilai bisa kita adaptasi dari film Cast Away. Ini aktornya masih saudara saya, Tom Hanks,” kelakar Jokowi di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2019 pada akhir November.
Pertama, kemampuan bertahan di tengah kesulitan yang menimpa. Kedua, kemampuan mencari sumber daya baru untuk bertahan hidup. Ketiga, kemampuan untuk tetap bersikap optimistis.
Jokowi menyebut pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi global, antara lain mendorong hilirisasi komoditas ekspor dan mengembangkan kawasan destinasi wisata. Selain itu, pemerintah terus memperbaiki iklim investasi yang menjadi harapan pendorong ekonomi 2020.
Saat ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga telah menyusun sejumlah program prioritas. Program-program tersebut diarahkan untuk memperkuat neraca perdagangan, permintaan domestik, dan transformasi struktural.
Adapun program tersebut, antara lain mandatori biodiesel 30% atau B30, perbaikan kebijakan Kredit Usaha Rakyat atau KUR, serta omnibus law terkait perpajakan, cipta kerja, dan UMKM. Kemudian percepatan perluasan digitalisasi transaksi daerah, percepatan pelaksanaan dan pengadaan tanah, percepatan penyelesaian perundingan internasional, serta pengembangan kawasan Batam, Bintan, Karimun, dan Tanjung Pinang.
Di sisi lain, pemerintah sepanjang tahun lalu telah menggelontorkan sejumlah insentif fiskal guna mendorong investasi. Investasi diharapkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Hingga November, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memberikan fasilitas libur pajak atau tax holilday kepada 44 perusahaan dengan investasi mencapai Rp 519 triliun. Ia juga meneken persetujuan fasilitas pengurang pajak tax allowance untuk 149 wajib pajak.
Insentif tersebut, antara lain diperoleh perusahaan di sektor kimia organik, mulai dari industri agrikultur, perlengkapan dan kendaraan, bubur kayu, hingga industri logam dasar nonbesi. Di sisi lain, pemerintah menyiapkan superdeduction tax untuk mendorong pengembangan riset dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Nasib Ekonomi Indonesia
Meski sudah menyiapkan banyak jurus, pemerintah tak muluk mematok target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Selain karena paham kondisi ekonomi global masih muram, pemerintah sepertinya juga belajar dari pengalaman lima tahun terakhir. Target pertumbuhan ekonomi yang dipatok selalu meleset, seperti terlihat dari Databoks di bawah ini.
Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN 2020, pemerintah mematok target pertumbuhan sebesar 5,3%, sama dengan target pada APBN 2019. Adapun tahun lalu, pertumbuhan ekonomi diproyeksi kembali meleset dan berada di kisaran 5,05%.
Meski demikian, Wakil Menteri Keuangan Suahasil memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya akan tercapai di kisaran 5,2%. “Tahun 2020 kami lihat memang agak berat. Tensi AS-Tiongkok masih belum akan selesai,” jelas Suahasil.
Suahasil menjelaskan target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2020 dibuat saat kondisi ekonomi dunia masih mendukung. Namun, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan semakin melambat.
Sebagai informasi, APBN 2020 sudah dirancang sejak paruh pertama tahun 2019. Lalu dibahas dengan DPR sejak Agustus dan disahkan sebagai undang-undang pada September.
Dalam APBN 2020, pemerintah juga menargetkan inflasi sebesar 3,1%, tingkat pengangguran 4,8% hingga 5%, kemiskinan 8,5% hingga 9%, rasio gini atau ketimpangan pendapatan antara 0,375 hingga 0,39.
Bukan hanya pemerintah yang pesimistis target pertumbuhan ekonomi APBN 2020, sejumlah lembaga dari dalam dan luar negeri juga memproyeksi target 5,3% akan kembali meleset. Hal ini terlihat dari Databoks di bawah ini.
Namun, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander menilai pertumbuhan ekonomi pada 2020 akan membaik dibanding tahun lalu. Salah satu faktornya adalah kondisi politik yang lebih kondusif. “Bisa mencapai 5,1% karena ada peningkatan investasi dari 4,5% jadi 5%,” kata Sander akhir tahun lalu.
Meski demikian, risiko penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi tetap tinggi pada 2020. Hal ini terutama dipengaruhi dinamika hubungan dagang antara AS dan Tiongkok dan harga komiditas.
Di sisi lain, konsumsi swasta pada tahun ini juga diperkirakan sedikit menurun akibat inflasi yang diperkirakan lebih tinggi. Beberapa faktor yang menjadi risiko inflasi yakni kenaikan iuran BPJS Kesehatan, tarif cukai, dan tarif tol.
Sumber: katadata.co.id
Leave a Reply