Menanti PPh Final Transaksi Derivatif Perdagangan Berjangka

Pemerintah terus berupaya menaikkan pendapatan negara dari sektor pajak. Di bawah komando Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun 2019 mencapai Rp 1.332,1 triliun atau 84,4 % dari target penerimaan pajak yang ada dalam APBN 2019, yaitu sebesar Rp 1.577,6 triliun. Dari total penerimaan pajak yang ada tersebut, Pajak Penghasilan (PPh) dari sektor nonmigas mencatatkan kontribusi terbesar, yaitu Rp 711,3 triliun atau 85,9% dari target Rp 828,3 triliun.

Belum tercapainya target penerimaan pajak, terutama dari PPH, akan menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Namun demikian, di balik itu terdapat potensi penerimaan negara dari PPh, yaitu PPh final atas transaksi derivatif yang ada di perdagangan berjangka komoditi.

Saat ini PPh final itu ada di ranah investor yang melaporkan di SPT masing-masing. Hal itu merupakan konsekuensi atas penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2011 yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.

Para pemangku kepentingan di sektor perdagangan berjangka komoditi pun telah melakukan langkah strategis, dengan mengajukan usulan kepada pemerintah terkait PPh final ini. Kemudian pada 2 Desember 2014, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan juga telah melakukan pembahasan terkait ketetuan PPh final atas transaksi derivatif ini.

Pembahasan itu merupakan tindak lanjut dari usulan yang disampaikan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi selaku otoritas kegiatan perdagangan berjangka komoditi di Indonesia bersama-sama dengan pemangku kepentingan yang lain pada tanggal 28 November 2014.

Namun demikian, sampai dengan saat ini, belum ada ketentuan baru yang mengatur PPh final atas transaksi derivatif sejak PP Nomor 17/2009 dicabut.

Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) Fajar Wibhiyadi mengatakan, kepastian penentuan PPh Final atas transaksi derivatif itu akan menjadi stimulus untuk peningkatan transaksi. 

”Kepastian nilai PPh final ini, kami yakini tidak hanya sekadar memacu peningkatan volume transaksi perdagangan berjangka komoditas (PBK), namun juga akan meningkatkan ekosistem transaksi derivatif di tanah air,” ujar Fajar dalam sebuah diskusi di kantor PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero), Graha Mandiri, Jakarta, Selasa (28/1/2020).


Hal senada juga disampaikan Direktur Utama Bursa Berjangka Jakarta Stephanus Paulus Lumintang. Menurut dia, BBJ sudah mengusulkan nilai PPh Final sebesar 0,1% untuk transaksi multilateral dan bilateral.

“Di negara-negara lain, investor di sektor perdagangan berjangka komoditi mendapatkan insentif berupa keringanan pajak dari pemerintah, yang hasilnya adalah bahwa transaksinya menjadi ramai. Kita perlu mencontoh negara-negara lain tersebut, untuk meningkatkan transaksi derivatif di negara kita,” katanya.

Perbedaan antara regulasi PPh lama dan baru ini, nantinya selain besaran nilai pajak, ialah mengenai kondisi pengenaan. Bila PPh final berlaku, investor akan dikenakan PPh setelah melakukan transaksi baik itu menjual maupun membeli.

Sedangkan investor akan dikenakan pajak setelah melakukan transaksi yang bersifat profit ataupun loss. Namun, dengan besaran pungutan yang lebih rendah tentu kian meningkatkan selera nasabah untuk berinvestasi.

Fajar menambahkan, usulan dari pemangku kepentingan di sektor perdagangan berjangka komoditi adalah dasar pengenaan pajak adalah 1% dari nilai transaksi atau National Value. Sedangkan tarif pajaknya adalah 0,1 % dari setiap transaksi baik bilateral maupun multilateral.

“Kami optimis, dengan pemberlakuan PPh final ini, ekosistem perdagangan komositas berjangka akan meningkat. Kalau boleh dianalogikan, PPh final ini akan menjadi stimulus luar biasa bagi perkembangan industri perdagangan berjangka komoditi di Indonesia,” kata Fajar.

Lebih lanjut, Stephanus menambahkan, pengenaan PPh final sangat dibutuhkan untuk pengembangan transaksi perdagangan berjangka komoditi di Indonesia karena memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha. Dengan banyaknya ragam dari komoditi yang ada di Indonesia, lanjut dia, PPh final diharapkan akan meningkatkan transaksi perdagangan berjangka komoditi.

“Hal itu tentu dapat meningkatkan ekosistem perdagangan berjangka dan komoditi di Indonesi untuk mewujudkan perdagangan yang dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Kami optimis, perubahan regulasi ini akan meningkatkan transaksi derivatif di sektor perdagangan berjangka komoditi,” ujar Fajar.

Sumber : CNBC Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only