Berharap Mulus dari Stimulus Fiskal

Para pengusaha mengharapkan pemerintah segera memberlakukan insentif fiskal untuk menambah cashflow.

Jakarta, pelaku industri manufaktur merespons positif kebijakan pemerintah memberikan beragam insentif fiskal di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi virus korona (Covid-19). Insentif berupa keringanan pajak akan membantu cashflow perusahaan. Bahkan, beberapa pebisnis optimistis bisa lebih ekspansif karena ada insentif tersebut.

Kebijakan stimulus jilid II tertuju ke industri manufaktur. Kebijakan itu antara lain relaksasi pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan relaksasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebelumnya pemerintah mengeluarkan stimulus jilid 1 untuk industri pariwisata.

Umumnya, insentif fiskal tertuju bagi wajib pajak perusahaan. Termasuk keringanan PPh 21 yang notabene tertuju bagi karyawan, tapi banyak perusahaan yang menerapkan gaji final, sehingga PPh 21 ditanggung pemberi kerja (perusahaan).

PT Asia Pasific Fibers Tbk (POLY), misalnya, sudah menerapkan sistem penggajian final. Relaksasi PPh 21 otomatis bisa membantu perusahaan mengerem pengeluaran. “Dengan relaksasi, maka perusahaan dapat mengaplikasikan dana tersebut untuk hal lainnya,” jelas Assistant President Director Corporate Communications PT Asia Pasific Fibers Tbk Prama Yudha Amdan, Jumat (13/3).

Merujuk laporan keuangan POLY per September 2019, mereka memiliki utang pajak PPh Pasal 21 senilai US$ 114.702. Pada 2018, tagihan PPh 21 sebesar US$ 128.096.

Direktur PT Ricky Putra Globalindo Tbk (RICY), Tirta Heru Citra, sependapat keuangan perusahaan akan terbantu dengan relaksasi PPh 21. Hingga 30 September 2019, tagihan PPh 21 RICY sebesar Rp 210,98 juta. Sedangkan beban PPh 21 tahun 2018 mencapai Rp 291,20 juta. “Prinsipnya itu membantu, tapi kami masih lihat dulu juklak (petunjuk pelaksanaannya),” kata Tirta, Jumat (13/3).

Direktur PT Siantar Top Tbk (STTP) Armin juga memastikan kelonggaran insentif perpajakan bakal membantu kelancaran kas perusahaan. Meskipun beban PPh 21 di setiap perusahaan umumnya kecil. Beban pajak yang cukup besar adalah PPh badan Pasal 25 dan pajak pertambahan nilai (PPN).

Laporan keuangan STTP per 30 September 2019 menyebut utang pajak PPh 21 Rp 268,78 juta, sedangkan PPh 25 mencapai Rp 4,09 miliar hingga kuartal III 2019 dan PPN Rp 12,52 miliar. Bahkan tahun 2018, beban PPN mencapai Rp 125,24 miliar. “Kebijakan fiskal pengurangan PPh Pasal 25 pasti ada dampak ke perusahaan. Tapi sejauh ini kami belum di beritahukan dengan jelas turunan kebijakan fiskal itu seperti apa,” jelas Armin.

Daya beli karyawan akan meningkat karena tak ada potongan pajak.

Penjualan turun

Corporate Secretary & Head of Investor Relation PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD) Wendy Chandra menyakini stimulus perpajakan akan menguntungkan karyawan dan perusahaan. Daya beli karyawan bakal meningkat karena tidak ada lagi potongan pajak. “Stimulus PPh Pasal 21 lebih menguntungkan dan berdampak ke karyawan,” jelas Wendy.

Sedangkan dari sisi perusahaan, WOOD akan terbantu stimulus kebijakan fiskal pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30% selama enam bulan. Wendy berharap adanya kebijakan ini, operating cashflow bisa lebih baik. Meski demikian, dampak ke operasional masih dihitung lebih lanjut, mengingat keputusan insentif kebijakan ini baru diumumkan belum lama ini.

Namun, WOOD sudah merencanakan kas tersebut akan dialokasikan ke modal kerja. “Kami akan menggenjot produksi untuk memenuhi permintaan pasar,” kata Wendy.

Sekretaris Perusahaan PT Chitose Internasional Tbk (CINT) Helina menyatakan belum bisa menghitung pasti efek stimulus fiskal bagi keuangan. Manajemen CINT masih menunggu aturan teknis untuk dasar perhitungan.

Helina menegaskan insentif tersebut bisa mengurangi beban operasional. “Terutama kebijakan PPh Pasal 25 bisa meningkatkan cashflow perusahaan 30%, kami bisa mengalihkan untuk modal kerja,” jelas Helina.

Berdasarkan laporan keuangan CINT kuartal III 2019, mereka memiliki utang PPh 21 Rp 28,96 juta. Tahun 2018, beban PPh 21 Rp 219,41 juta dan PPh 25 Rp 271,66 juta.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengapresiasi pemerintah merilis kebijakan fiskal tersebut. Insentif PPh 21 diyakini bisa meningkatkan pendapatan karyawan. “Diharapkan daya beli meningkat,” ujar Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman.

Di sisi lain, insentif fiskal lainnya seperti PPh 25 mengenai penangguhan, menurut Adhi, bisa membantu perusahaan menambah cashflow dalam menghadapi masalah sulit, khususnya impor bahan baku. Meski demikian, Adhi mengakui asosiasi tidak memiliki data rinci mengenai potensi pengeluaran yang bisa direm pelaku industri.

Abdul Sobur, Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mabel dan Kerajinan Indonesia (Himki) menilai insnetif fiskal tersebut tidak akan berdampak besar pada manufaktur padat karya seperti furnitur dan craft yang berorientasi pasar ekspor. Masalah saat ini bukan pada cashflow perusahaan, tetapi pembatalan atau penundaan order yang berpotensi sangat merugikan. “Kami apresiasi insentif itu meskipun tak menjawab persoalan pokok,” jelas Abdul.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo memproyeksikan kinerja ekspor sektor kehutanan tahun 2020 akan menurun akibat Covid-19. Kondisi serupa diyakini juga terjadi pada sektor manufaktur lainnya. Pasalnya, Covid-19 menyulitkan ekspor dan terjadi penurunan permintaan,” kata dia. Hal ini karena negara di dunia fokus terhadap korona.

Indroyono menilai insentif fiskal sebagai kebijakan yang tepat. Insentif itu akan meringankan arus kas pelaku usaha. “Besar kecilnya tentu bervariasi dan tergantung penghasilan yang dikenakan PPh,” ucap Indroyono.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only