The Fed berencana membiayai secara langsung perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang terimbas virus Korona. The Fed akan menggelontorkan paket stimulus senilai US$ 2 triliun, selagi kongres masih berdebat beban biaya yang timbul akibat wabah virus Korona.
“Kami melihat hal ini langkah tersebut sebagai upaya The Fed untuk menjaga semua sektor yang terkena imbas wabah virus Korona agar dapat berjalan dengan baik. Ini semua membutuhkan keputusan yang cepat dan genting, dan tidak bisa menunggu keputusan dari kongres terlalu lama. Apabila kongres terlalu lama untuk memutuskan kebijakan fiskal, maka The Fed tampaknya akan memutuskan untuk masuk ke dalam sektor riil,” jelas Pilarmas Investindo Sekuritas dalam ulasannya Selasa (24/3).
Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa mereka mendukung pasar keuangan dengan menjaga kredit supaya dapat mengalir, dengan menawarkannya kepada perusahaan -perusahaan di Amerika. Rencananya, The Fed akan membeli obligasi Treasury, sedangkan dari sisi sekuritas yang akan mendukung hipotek dalam jumlah tak terbatas, untuk menjaga biaya pinjaman agar tetap berada di level terendah dan memastikan bahwa pasar tetap berfungsi dengan baik.
“Kesiapan The Fed merupakan sesuatu yang harus di apresiasi karena tentu hal ini menunjukkan bahwa The Fed hadir di pasar untuk memberikan keyakinan kepada pelaku pasar, bahwa The Fed akan menjaga perekonomian Amerika untuk tidak jatuh lebih dalam,” ujar Pilarmas Sekuritas.
Pilarmas Sekuritas menilai, usaha The Fed yang menurunkan tingkat suku bunga, saat ini kurang efektif untuk menstimulus perekonomian. Pasalnya, banyak orang yang diminta untuk berada dirumah, sehingga tidak ada yang dapat menjalankan bisnis mereka tersebut.
Setelah India, kali ini giliran Inggris yang melakukan lockdown terkait dengan situasi dan kondisi darurat saat ini. Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan, dirinya akan melakukan pembatasan paling dramatis sepanjang sejarah dan akan mulai melakukan sweeping terkait dengan aktivitas masyarakat disana.
Saat ini, Jonhson terus meyakinkan masyarakat untuk tetap tinggal dirumah dan berhenti untuk bersosialisasi, karena hal tersebut yang akan menyelamatkan mereka untuk saat ini. Adapun sebelumnya, Johnson dikaitkan dengan lamanya membuat keputusan sehingga virus tersebut merenggut kematian sebanyak 335 orang di Inggris.
Sejauh ini, Inggris telah menyiapkan paket darurat berupa pinjaman dan hibah sebesar £ 350 miliar atau senilai US$ 405 miliar untuk bisnis yang mengalami goncangan dan jumlah uang tunai yang tidak terbatas untuk mendukung gaji para pekerja.
Beralih ke India, Indeks saham India pada akhirnya membukukan penurunan terburuk akibat lockdown yang telah dilakukan. Indeks Sensex S&P BSE terkoreksi 13% menjadi 25.981 pada penutupan perdagangan waktu India. Hal ini merupakan penurunan yang terdalam sejak tahun 1979. Sementara itu NSE Nifty 50 Index juga turun dengan nilai yang sama.
Perdana Menteri India Narendra Modi mengatakan, diberlakukannya lockdown akan membuat ekonomi India mengalami perlambatan yang terendah dalam kurun waktu 11 tahun terakhir. Regulator pasar mulai menaikkan persyaratan untuk melakukan margin dan membatasi eksposur derivativ. Hal ini dilakukan untuk menjaga para pelaku pasar agar melakukan hal yang lebih agresif kembali.
Bank Sentral India sejauh ini masih menahan diri untuk memangkas tingkat suku bunga. Alih-alih memangkas tingkat suku bunga, pemerintah India malah mempertimbangkan untuk menawarkan persyaratan pembayaran pinjaman yang lebih mudah dan memberikan keringanan dalam pembayaran pajak untuk perusahaan-perusahaan dalam skala kecil.
Tidak hanya itu saja, Bank Sentral India juga akan menambah 1 Triliun Rupee uang tunai dalam sistem perbankan sebagai langkah awal untuk menjaga likuiditas. Kendati demikian, sejumlah langkah tersebut, masih membuat investor asing melakukan capital outflow dengan nilai US$ 12,5 miliar baik dalam bentuk saham maupun obligasi.
Lembaga S&P Global Ratings menyikapi dampak dari pandemi Covid-19. Untuk kawasan Asia Pasifik S&P Global Ratings memproyeksikan pandemi Covid-19 akan menelan biaya total hingga US$ 620 miliar dan kerugian pendapatan permanen untuk ekonomi Asia-Pasifik.
Dalam kajiannya, S&P memproyeksikan kerugian akan terdistribusi di seluruh sovereign, bank, perusahaan, dan neraca rumah tangga. Tingkat pertumbuhan rata-rata kawasan itu akan menjadi 2,7%. S&P juga memperkirakan akan terjadi kontraksi ekonomi di Singapura, Hong Kong, Korea Selatan ketika adanya deflasi baru di Jepang. Sementara, GDP Tiongkok diperkirakan akan melambat menjadi 2,9% di 2020.
Sumber : Investor.id

WA only
Leave a Reply