Insentif Corona Belum Jalan, Industri Was-was Gulung Tikar

Jakarta — Bayang-bayang kebangkrutan kian terlihat di berbagai sektor industri yang terdampak tekanan ekonomi akibat pandemi virus corona atau covid-19. Sebab, berbagai insentif yang dijanjikan pemerintah belum berjalan, sehingga tak terasa manfaatnya.

Salah satunya industri perhotelan yang sudah terpukul efek corona sebelum kasus positif perdana muncul di Indonesia. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan risiko bangkrut kemungkinan akan terjadi mulai Juli 2020.

Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran mengatakan hal ini merujuk pada estimasi awal para pelaku usaha yang memperkirakan hanya bisa bertahan sampai bulan depan dari tekanan pandemi corona. Estimasi itu dibuat saat pemerintah mewacanakan berbagai insentif pada Februari-Maret lalu.

“Kalau dari perkiraan awal kan bisa bertahan sampai setelah puncak, Mei, berarti Juni. Nah, bagaimana selepas itu? Ya setelah Juni bisa sudah dead (mati),” ujar Maulana kepada CNNIndonesia.com, Minggu (3/5).

Risiko, sambungnya, juga terlihat dari aksi jual bantal, sprei, kasus, hingga katering hotel ke publik. “Coba dibayangkan kalau sekarang saja hotel sudah sampai jual bantal, bagaimana ke depannya? Jual katering juga, itu pun mungkin hanya dapat untung Rp20-30 juta per bulan, padahal biaya listrik berkali-kali lipat,” tuturnya.

Ia memperkirakan pelaku usaha hotel yang berisiko bangkrut mencapai 50 persen. Namun, dengan tingkat keterpurukan yang berbeda-beda sesuai kekuatan masing-masing.

Selain itu, mungkin saja ada perusahaan yang memitigasi kebangkrutan dengan mulai menghentikan operasi penuh pada bulan ini. Tujuannya agar biaya operasional tidak membengkak, khususnya beban pengeluaran untuk kelistrikan.

“Jadi sebelum bangkrut, mungkin sudah pada ‘gelap’ duluan beberapa hotel, benar-benar matikan listrik, tidak buka sama sekali, setidaknya mengurangi biaya karena situasi semakin sulit,” katanya.

Maulana mengatakan risiko bangkrut kian nyata di hadapan para pengusaha hotel karena situasi semakin sulit. Menurut catatannya, tingkat keterisian kamar hotel (okupansi) berada di kisaran 0 persen sampai di bawah 10 persen saat ini.

Sementara insentif yang dijanjikan pemerintah belum juga berjalan. Salah satunya pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 kepada karyawan dan PPh Pasal 25 kepada badan usaha.

“Ada PPh 21 dan 25, itu memang minimal sudah keluar aturan teknisnya setelah statementnya dari dua sampai tiga bulan lalu, tapi ini belum efektif berjalan. Pengurangan masih dalam proses, cash flow masih sulit,” ungkapnya.

Begitu pula dengan insentif fiskal dari pemerintah daerah, salah satunya yang diberikan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Pemprov memutuskan untuk tidak menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan menghapus denda atau sanksi administrasi bagi penunggak pajak yang melunasi pokok pajaknya sampai 29 Mei 2020.

“Tapi ini lucu, diberi keringanan asal bayar di muka lebih dulu, lah hidup saja sudah susah, ini disuruh bayar dulu baru dapat keringanan, uangnya dari mana? Seolah-olah diberi keringanan padahal tidak, ini PHP (Pemberi Harapan Palsu),” ucapnya.

Kebijakan lain yang belum direalisasikan dan pesimis terasa manfaatnya adalah subsidi iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek oleh pemerintah kepada perusahaan selama tiga bulan. Namun, syaratnya perusahaan tetap membayar THR kepada pekerja.

Menurutnya, hal ini tidak akan meringankan beban perusahaan sekalipun efektif dijalankan karena besaran iuran BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek hanya sekitar 2 persen sampai 3 persen dari gaji pokok pekerja. Sementara THR yang harus dibayarkan setara satu kali gaji pokok penuh.

Sementara kebijakan tunda bayar cicilan kredit dari bank juga belum sepenuhnya didapat pelaku usaha. Sekalipun dapat, bank nyatanya memberikan pilihan, misalnya hanya diberikan relaksasi pembayaran pokok kredit saja tapi bunga tetap harus dilunasi.

Begitu pula dengan pemberian bantuan kepada karyawan hotel melalui Kartu Prakerja yang tidak efektif karena kuota terbatas. Selain itu, pekerja juga masih dituntut untuk melakukan pelatihan.

“Padahal kami minta BLT murni saja langsung, tidak perlu dengan pelatihan ala Kartu Prakerja ini. Soalnya program ini ada gelombangnya, jatahnya sampai Agustus, orang sulitnya sekarang, masa masih disuruh antri sampai beberapa bulan lagi?” keluhnya.

Ia juga mengkritik kebijakan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah yang tidak tegas dan tidak jelas. Pasalnya, Ida memperbolehkan perusahaan melakukan penundaan bayar THR, namun harus sesuai kesepakatan perusahaan dengan pekerja.

Hal ini, katanya, justru akan menimbulkan polemik baru, di mana akan tetap ditolak oleh pekerja. Selain itu, ada potensi salah tafsir di Dinas Ketenagakerjaan di daerah.

“Kami berharap kebijakannya tidak liar, tidak bias, tapi justru tidak tegas,” imbuhnya.

Di sisi lain, Maulana melihat ada kebijakan lain yang belum juga diberikan pemerintah, yaitu keringanan di sektor kelistrikan. Ia mengatakan asosiasi sebenarnya tidak meminta insentif diskon tarif listrik, namun setidaknya pemerintah bisa membujuk PT PLN (Persero) agar mau melonggarkan kembali kontrak kerja samanya.

Saat ini, kata Maulana, banyak hotel yang mengambil kontrak penggunaan listrik segmen premium dari perusahaan setrum negara. Pada ketentuannya, hotel-hotel akan mendapat layanan prioritas bila ada pemadaman listrik secara mendadak.

Namun, kontrak berdurasi lima tahun itu mengharuskan hotel membayar penggunaan listrik minimum 110 jam dengan biaya mencapai Rp100 juta Padahal, sejak pandemi corona merebak, okupansi hotel menurun, sehingga penggunaan listrik tidak mencapai 110 jam.

“Ini jelas mengganggu cash flow, makanya kami minta diubah sedikit ketentuan paketnya, ubah jam minimumnya saja. Kami minta ubah kebijakannya saja padahal, bukan minta diskon, tapi tidak bisa,” ucapnya.

Senada, Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies/ASITA) Budijanto Ardiansjah juga melihat risiko kebangkrutan. Begitu pula dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Karena (wisata perjalanan) merupakan industri yang terdampak, perkiraannya bisa di atas 50 persen,” ucapnya.

Budijanto memperkirakan bila perusahaan mulai bangkrut, setidaknya lebih dari 6 juta pekerja akan kena PHK. Hal ini mengacu pada data terakhir jumlah pekerja di sektor ini mencapai 12 juta orang pada 2015.

“Itu yang formal, belum yang non formal juga banyak. Jadi kurang lebih segitu,” tuturnya.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga melihat hilal penutupan pabrik akan marak selepas Juni bila pandemi corona belum berakhir dan insentif dari pemerintah belum terasa ke industri dan pekerja. Saat ini, menurut Sekretaris Eksekutif API Rizal Tanzil Rakhman, belum ada insentif yang benar-benar sudah berjalan dari berbagai pengumuman kebijakan pemerintah.

“Insentif yang lain belum ada. Jadi praktis belum ada yang terasa karena belum turun dari pemerintah,” katanya.

Begitu pula bagi pekerja, ia bilang pemerintah menjanjikan insentif dana melalui BP Jamsostek. Sebelumnya, pemerintah mengatakan insentif ini akan diberikan dengan nominal Rp1 juta per pekerja selama empat bulan lalu ditambah bonus Rp1 juta lagi, sehingga totalnya Rp5 juta.

Namun, insentif baru bisa diberikan bila pekerja memang terdaftar di BP Jamsostek. Rizal mengatakan data-data terkait sudah diberikan asosiasi, namun kebijakan ini belum juga terealisasi.

“Kami masih menunggu juknisnya biar jelas. Tapi masalahnya rata-rata cash flow bertahan sampai Juni, lebih dari itu pasti banyak PHK, pabrik tutup,” ujarnya.

Untuk itu, para industri meminta pemerintah bisa mempercepat implementasi dari berbagai kebijakan insentif yang hendak diberikan. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan baru yang masih dibutuhkan karena pandemi corona yang belum diketahui kapan berakhirnya serta kebijakan untuk pemulihan industri ke depan.

Sumber CNN Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only