Ressa Tolak Dakwaan Penggelapan Pajak

Jurnalis senior Filipina, Maria Ressa, yang mengelola situs berita Rappler, menolak dakwaan penggelapan pajak terhadap dirinya. Kasus yang menimpa wartawan yang pernah menjadi Person of the Year 2018 majalah Time itu dicurigai sarat motif politik yang bertujuan mengintimidasi dan melecehkan. 

Pengadilan menyatakan Ressa bersalah, Rabu (22/7/2020), melalui dakwaan bahwa Rappler menggelapkan pajak dengan mengabaikan hasil penjualan sertifikat saham kepada investor asing. Hal ini yang menjadi dasar bagi regulator sekuritas untuk mencabut lisensi situs berita itu. 

”Dakwaan ini bermotif politik untuk melecehkan dan mengintimidasi serta membuat kita takut memberitakan. Respons yang terbaik adalah tetap memberitakan,” kata Ressa yang berkewarganegaraan Amerika Serikat dan Filipina itu.

Situs berita Rappler selama ini dikenal kerap mengkritik Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Ressa (56) menghadapi sejumlah tuntutan hukum dari Pemerintah Filipina. Hal ini memicu keprihatinan komunitas internasional terhadap pe- lecehan kepada wartawan di Filipina. Padahal, selama ini, Filipina dianggap sebagai negara yang menegakkan standar kebebasan pers di Asia. 

Sebelum putusan pengadilan penggelapan pajak Rappler, bulan lalu, Ressa juga didakwa memberitakan fitnah. Ia dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Namun, Ressa ke- mudian dibebaskan dengan uang jaminan. Putusan pengadilan tersebut dianggap membuyarkan kebebasan dan demokrasi di Filipina, sekaligus meneguhkan tudingan pemerintahan Duterte otoriter. 

Kritis kepada Duterte 

Rappler kerap menggugat akurasi pernyataan publik Duterte dan alasan kebijakan luar negerinya yang kontroversial. Rappler juga kerap memberitakankekejamanperang melawan narkoba yang gencar dilakukan Duterte. 

Pada banyak kesempatan, Duterte kerap terang-terangan menyerang Rappler dengan menuduh Rappler sebagai ”situs berita palsu” yang didukung mata-mata AS. Pada kasus penggelapan pajak, regulator sekuritas menuding Rappler memperbolehkan orang asing memiliki saham secara ilegal di perusahaan media Filipina. 

Rappler, sebuah perusahaan start up, membantah tuduhan itu. Tidak pernah ada orang asing yang memiliki saham di Rappler. Meski demikian, orang asing tetap diizinkan berinvestasi tanpa hak suara dan tidak terlibat dalam operasional. Sampai saat ini, Rappler masih beroperasi sambil menunggu proses sidang banding pencabutan izin. 

Para pengawas media dan aktivis hak asasi manusia menilai, dakwaan-dakwaan terhadap Ressa itu merupakan bagian dari strategi membungkam atau mempermalukan siapa saja yang berseberangan dengan Duterte. Pada awal bulan ini, para pendukung Duterte di kongres memberikan suara bulat menolak permintaan perpanjangan lisensi media ABS-CBN selama 25 tahun ke depan. Hal ini sesuai dengan ancaman Duterte karena media itu beberapa kali menolak menayang- kan iklan-iklan kampanyenya saat pemilu. ”

Kondisi saat ini sangat mengagetkan. Tidak pernah kita bayangkan ABS-CBN akan dimatikan,” kata Ressa. 

Juru bicara kepresidenan, Harry Roque, menegaskan, Duterte masih mendukung kebebasan berbicara. Media yang sedang menghadapi tuntutan hukum itu semata-mata karena mereka melanggar hukum. Media didakwa bukan karena pemberitaan mereka. ”Pers tetap boleh memberitakan selama tidak melanggar hukum. Media juga berhak tetap beroperasi,” sebut Roque dalam pernyataan tertulis. 

Sumber: Harian Kompas

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only