Rezim Pajak Penghasilan untuk Ekspatriat Berubah, Ini Kata Sri Mulyani

Pemerintah mengubah rezim pemajakan bagi warga negara asing (WNA) yang bekerja di Indonesia (ekspatriat) dari sistem worldwide menjadi sistem territorial. Perubahan tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (8/10/2020).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerapan rezim pemajakan yang baru tersebut merupakan bagian dari perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) dalam klaster perpajakan UU Cipta Kerja. Simak beberapa ulasan mengenai UU Cipta Kerja di sini.

“Pengenaan PPh bagi WNA yang merupakan subjek pajak dalam negeri (SPDN) adalah berdasarkan penghasilan mereka yang berasal dari Indonesia. Jadi, kami tidak memajaki kalau dia punya pekerjaan atau sumber penghasilan di luar Indonesia,” jelasnya.

Sri Mulyani menegaskan WNA yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan ditetapkan menjadi SPDN. Penentuan SPDN juga bisa dilakukan untuk WNA yang bertempat tinggal di Indonesia atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Topik sistem worldwide dan territorial juga menjadi bahasan dalam buku ke-10 DDTC yang berjudul Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan. Buku ini ditulis oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, dan Expert Consultant DDTC Khisi Armaya Dhora.

Selain perubahan sistem pemajakan WNA, masih terkait dengan UU Cipta Kerja, ada pula bahasan mengenai pengaturan ulang sanksi administrasi dan imbalan bunga. Pengaturan ulang mayoritas menggunakan patokan suku bunga acuan untuk mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Memiliki Keahlian Tertentu

Ketentuan mengenai perubahan rezim pemajakan bagi WNA dari sistem worldwide menjadi sistem territorial diatur dalam Pasal 4 ayat (1a), (1b), (1c), dan (1c) UU KUP. Beberapa ayat tersebut baru muncul dalam UU Cipta Kerja.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1a), WNA yang telah menjadi SPDN dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan 2 ketentuan. Pertama, memiliki keahlian tertentu. Kedua, berlaku selama 4 tahun pajak yang dihitung sejak menjadi SPDN.

“Itu supaya WNA yang bekerja di sini [Indonesia], yang dipajaki adalah pendapatannya yang berasal dari Indonesia,” imbuh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Adapun penghasilan yang dimaksud berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh WNA sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan di luar Indonesia.

Namun, ketentuan Pasal 4 ayat (1a) UU KUP tidak berlaku terhadap WNA yang memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B tempat WNA memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keahlian tertentu serta tata cara pengenaan PPh bagi WNA dalam Pasal 4 ayat (1a) UU KUP akan diatur dengan peraturan menteri keuangan (PMK). (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

  • Aspek Keadilan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pengaturan ulang sanksi administrasi dan imbalan bunga dalam UU KUP dilakukan untuk mendorong kepatuhan sukarela. Selain itu, pemerintah menginginkan skema yang lebih mencerminkan aspek keadilan.

“Kami mengatur ulang sanksi administrasi pajak dan imbalan bunga supaya sesuai dengan bunga yang ada saat ini plus denda. Sehingga, dia lebih mencerminkan aspek keadilan dari situasi yang terus berubah. Jadi tidak bersifat nominal tetap sepanjang masa,” jelasnya.

  • Batu Bara Kena PPN

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan hasil pertambangan batu bara sebagai barang kena pajak pertambahan nilai (PPN). Dalam UU Cipta Kerja, yang mengubah UU PPN, hasil pertambangan batu bara tidak lagi masuk dalam jenis barang yang tidak dikenai PPN.

“Di dalam UU Cipta Kerja juga ditegaskan mengenai batu bara sebagai barang kena pajak. Oleh karena itu, dia menjadi terutang PPN,” katanya.

  • Mengakomodasi Pelaku Usaha Terdampak Covid-19

Ditjen Pajak (DJP) telah memperbarui tata cara penyelesaian permohonan, pelaksanaan, dan evaluasi kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA) melalui Perdirjen Pajak No.PER-17/PJ/2020.

Kasubdit Penanganan dan Pencegahan Sengketa Perpajakan Internasional DJP Dwi Astuti mengatakan pembaruan kebijakan tersebut untuk mengakomodasi pelaku usaha terdampak pandemi Covid-19 agar tetap dapat mengajukan APA.

“Kami mengakomodasi kemungkinan pelaku usaha yang mengalami penurunan laba akibat pandemi tetap bisa mengajukan APA,” katanya.

  • Laman Khusus Informasi e-Faktur 3.0

DJP menyediakan laman khusus yang berisi informasi terkait dengan implementasi e-faktur 3.0. DJP menyatakan implementasi secara nasional aplikasi e-faktur 3.0 sudah dimulai pada 1 Oktober 2020. Oleh karena itu, pengusaha kena pajak (PKP) wajib melakukan pembaruan (update) e-faktur 3.0.

“Informasi selengkapnya terkait implementasi e-faktur versi 3.0, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan (FAQ) seputar implementasi e-faktur versi 3.0 dapat dilihat pada laman https://pajak.go.id/efakturdjp,” tulis contact center DJP, Kring Pajak, melalui Twitter. (DDTCNews) (kaw)

Sumber : ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only