Chatib Basri: UU Omnibus Law Menjawab Tiga Hambatan Laten Investasi

Pengesahan Undang-Undang Omnimbus Law Cipta Kerja menuai kontroversi di masyarakat. Namun mantan Menteri Keuangan dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Chatib Basri menilai aturan sapu jagat ini dapat menjawab tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia di masa depan.

Chatib menyebutkan ada tiga hambatan investasi di Indonesia yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden. “Persoalan yang utama itu koordinasi pusat dan daerah, rumitnya regulasi, dan tenaga kerja,” kata Chatib Basri dalam diskusi virtual ‘Investasi Saat Pandemi dan Khasiat UU Cipta Kerja’ yang ditayangkan Katadata.co.id, Rabu (21/10).

Ia menilai tidak terhubungnya kebijakan pusat dan daerah selama ini menghambat investasi. Hal itu karena aturan yang dimiliki pemerintah daerah sering kali berseberangan dengan pemerintah pusat. 

Birokrasi yang cukup panjang antar-kementerian juga menjadi kendala bagi investor. Setiap kementerian memiliki undang-undang serta peraturan tersendiri.

Komisaris Utama Bank Mandiri ini menilai investasi yang tidak efisien juga menjadi masalah bagi perekonomian Indonesia. Ini tercermin dari incremental capital-output ratio (ICOR) yang sangat tinggi.

ICOR adalah ukuran kebutuhan investasi untuk dapat memenuhi suatu target pendapatan wilayah atau laju pertumbuhan ekonomi tertentu. Semakin tinggi angka ICOR, semakin sedikit output dari dana yang diinvestasikan.

Di era Jokowi, ICOR mencapai 6,5, sedangkan sepanjang kurun waktu Orde Baru hingga era SBY reratanya hanya 4,3. ICOR Indonesia tercatat paling tinggi di ASEAN.

Chatib menjelaskan, penyebab tingginya ICOR RI karena saat ini investasi padat modal sangat tinggi. Padahal, investasi jenis tersebut baru akan menunjukan hasil dalam jangka waktu yang lama, seperti infrastruktur.

Tak hanya itu, investasi padat modal juga tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja jika dibandingkan dengan investasi padat karya. Investasi padat modal juga menguntungkan pemilik modal dan sumber daya alam. “Implikasinya ketimpangan meningkat tajam,” ujar dia.

Sementara itu, Ekonom Faisal Basri  juga  menilai masalah paling mendasar dalam perekonomian Indonesia adalah investasi besar dengan hasil investasi kecil. Kondisi ini yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sebelum pandemi bertengger di angka 5%. Padahal, Jokowi memasang target pertumbuhan hingga 7% di awal kepemimpinannya. 

“Inilah yang harus dijawab dan dicarikan obat mujarabnya. Ibarat anak di usia pertumbuhan yang dapat asupan bergizi tetapi berat badannya tidak naik, boleh jadi banyak cacing di perut anak itu,” ujar Faisal dalam situs pribadinya, Jumat (9/10). 

Ia menilai cacing dalam perekonomian adalah korupsi. Cacing juga dapat berupa praktik antipersaingan. Proyek-proyek besar diberikan ke BUMN, tak ditender sehingga tidak terbentuk harga yang kompetitif. Proyek-proyek tanpa dibekali perencanaan yang memadai.

“Cacing yang lebih berbahaya adalah para investor kelas kakap yang dapat fasilitas istimewa. Investasi mereka sangat besar, tetapi hampir segala kebutuhannya diimpor, puluhan ribu tenaga kerja dibawa dari negara asal tanpa visa kerja,” katanya. 

Proyek-proyek para investor tersebut masuk dalam Proyek Strategis Nasional sehingga bisa mengimpor apa saja tanpa bea masuk, tak perlu menggunakan komponen dalam negeri. Mereka bebas mengekspor seluruh produksinya tanpa dipungut pajak ekspor dan bebas pajak keuntungan sampai 25 tahun. 

Praktik-praktik tak terpuji itulah yang bermuara pada ICOR (incremental capital-output ratio) yang sangat tinggi. Di sisi lain, Faisal menilai realisasi investasi di Indonesia sebenarnya sudah cukup tinggi.  Pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi dibandingkan Tiongkok, Malaysia, Thailand, Afrika Selatan, dan Brazil serta hampir sama dengan India. Hanya Vietnam yang pertumbuhan investasinya lebih tinggi dari Indonesia.

Investasi yang dimaksud Faisal adalah pembentukan modal tetap bruto yang berwujud investasi fisik dan merupakan salah satu komponen dalam produk domestik bruto. Porsi investasi dalam PDB juga terus meningkat di masa Pemerintahan Presiden Jokowi bahkan lebih tinggi dibandingkan rerata negara berpendapatan menengah-bawah maupun menengah-atas.

“Presiden keliru mengatakan investasi terhambat dan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan “tidak nendang”. Alasan keliru ini membuat Presiden mencari jalan pintas dengan mengajukan Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Faisal. 

Sumber : Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only