Industri Digital Berpeluang Memperoleh Tax Holiday

JAKARTA – Kementerian Keuangan membuka peluang pemberian insentif pajak, termasuk tax holiday, bagi para pelaku ekonomi digital di Tanah Air, termasuk di dalamnya usaha rintisan berbasis teknologi (start-up) di berbagai sektor. Untuk itu, para asosiasi yang bergerak di industri digital dipersilakan untuk berkirim surat kepada Menteri Keuangan, dengan tembusan ke sejumlah menteri terkait.

Hal tersebut diungkapkan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dalam acara CEO Power Breakfast bertema “Ekonomi Digital Percepat Reformasi Struktural” yang digelar oleh Beritasatu Media Holdings (BSMH) di Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat (20/11/2020). Dibuka oleh Deputy Chairman & Senior Advisor Lippo Group Ginandjar Kartasasmita, acara ini juga menghadirkan pembicara Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indra Darmawan. Acara yang dimoderatori Direktur Pemberitaan BSMH Primus Dorimulu ini diikuti lebih dari 30 CEO perusahaan digital ternama.

Yustinus Prastowo menjelaskan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, yang mencabut PMK No 150/2018, mengatur tentang 18 sektor industri pionir yang berhak mendapatkan fasilitas pembebasan pajak dalam periode tertentu (tax holiday), tapi cenderung ke jenis industri konvensional, khususnya industri hulu. Industri pionir adalah industri yang memiliki koneksi luas atau keterkaitan, menyediakan nilai tambah dan dampak ekonominya tinggi ke daerah sekitar, memperkenalkan teknologi baru, serta menyediakan nilai strategis bagi perekonomian nasional.

PMK 130 tersebut sebenarnya sudah memasukkan ekonomi digital sebagai salah satu dari 18 sektor industri yang mendapatkan insentif tax holiday, tapi hanya berlaku untuk aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan yang berhubungan dengan itu.

Yustinus mengakui aturan tax holiday dalam PMK 130/2020 belum mengubah paradigma, namun baru sebatas mengubah tata cara dan prosedur. Sekarang ada paradigma baru bahwa digital memang merupakan industri padat modal, tapi dananya lebih banyak dipakai untuk operational expenditure (opex) bukan capital expenditure (capex), sehingga perlu penyesuaian.

Bisnis start-up umumnya memasukkan modal dalam belanja operasional (opex) dan umumnya tidak punya aset fisik (intangible) yang besar, sehingga masih kurang terwadahi dalam PMK No 130/2020 untuk mendapatkan insentif tax holiday. PMK lebih mewadahi pelaku bisnis yang punya aset, termasuk belanja modal (capex) untuk investasi fisik (tangible), seperti industri hulu.

Karena itulah, kata Yustinus, PMK tersebut berpeluang untuk diubah lagi menyesuaikan dengan perkembangan bisnis yang ada, termasuk start-up. “Sekarang, ada peluang perubahan lagi karena sekarang domain bisnis memang telah berubah. Mungkin bisa diusulkan agar bisa masuk ke sana. Kemudian, domain dan penerjemahan ekonomi digital itu juga perlu perubahan,” ujar Yustinus.

Karena itulah, Yustinus meminta para pelaku usaha ekonomi digital, melalui berbagai asosiasi yang menaunginya, untuk mengajukan surat ke Menteri Keuangan guna mengubah PMK tersebut. Apalagi, PMK itu selama ini sangat dinamis, pernah diubah dalam beberapa tahun, dan bisa diubah sesuai perkembangan bisnis, termasuk bagi pelaku bisnis start-up.

“Menurut saya pribadi, ini termasuk area yang belum tersentuh cara berpikir birokrasi. Paradigmanya belum ke sana. Untuk memberi umpan, silakan tulis surat ke Menteri Keuangan, dengan tembusan ke Menko Maritim dan Investasi, Kepala BKPM yang luar biasa begitu responsif dan pemahamannya sama, Kementerian Perindustrian karena paradigmanya masih tangible (aset fisik), dan Kemenkominfo juga perlu tembusan,” kata Yustinus.

Dia menceritakan, baru-baru ini, ada investor besar yang mau berinvestasi pada aplikasi pembayaran dan mengajukan insentif tax holiday kepada Kementerian Keuangan. Namun, terpaksa tidak bisa diberikan karena di luar kriteria yang diatur dalam PMK No 130/2020, walaupun masuk kategori pelaku ekonomi digital.

“Paradigma baru ekonomi digital perlu dibuat, termasuk modal dalam pengertian perhitungan opex dan bukan capex perlu penyesuaian. Asosiasi yang ada untuk membuat surat. Surat diharapkan bisa membuka pikiran dan paradigma pemerintah tentang perlunya usaha start-up mendapatkan insentif pajak dan dimasukkan dalam PMK,” ungkap Yustinus.

Holding di Singapura

Dalam sesi tanya jawab, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyampaikan bahwa mayoritas start-up besar yang saat ini berkembang pesat di Indonesia umumnya memiliki struktur induk usaha (holding) yang berbasis di Singapura. Karena itu, negara jiran tersebut pun mendapatkan manfaat besar dari kebijakan perpajakan dan lainnya. Menurut Yustinus, pemerintah berniat melakukan perubahan di bidang perpajakan, termasuk bagi usaha start-up. Hanya saja, dia kembali lagi menekankan, Kementerian Keuangan tidak pernah menerima masukan dan surat secara formal dari para pelaku usaha digital untuk melakukan perbaikan.

“Tapi, niat baik untuk perubahan soal perpajakan ada, termasuk membebasan pajak dan lain sebagainya,” katanya.

Dia juga menyebut, khusus untuk modal ventura, UU dan PMK menyebutkan bahwa modal ventura telah diberikan insentif. Namun, pemahaman mengenai pemberian pengecualian capital gain tax agar bisa bersaing dengan Singapura diakuinya belum sampai ke arah situ.

“Kami sempat berpikiran ke sana. Karena ketika muncul konsep capital gain tax, lalu ekonomi menjadi tak kondusif karena sudah berubah-ubah waktu itu. Dulu kan tangible, sekarang intangible economy. Kalau kebijakan pajak tak ikuti itu, kita akan ketinggalan,” ujarnya.

Namun, pemerintah sebenarnya sudah berdiskusi untuk mengubah paradigma mainstream agar perspektifnya berbeda. “Karena itu, para asosiasi bisa bikin FGD (focus group discussion), lalu undang kami untuk mendengarkan wawasan baru,” kata Yustinus.

Insentif Fintech

Pada kesempatan tersebut, Yustinus juga menyinggung peluang sejumlah start-up teknologi keuangan (financial technology/fintech) yang telah berjasa membantu kinerja pemerintah dan menopang perbankan berhak untuk mendapatkan insentif. Salah satunya OVO, platform pembayaran digital.

“Saya jadi ingat dengan OVO dan lain-lain. Ini kritik bagi pemerintah. OVO dan lainnya membantu pemerintah jualan sukuk ritel, ORI, termasuk melayani pembiayaan-pembiayaan yang tidak diambil oleh bank. Tapi, mereka tidak mendapatkan insentif, harusnya perlakuannya sama,” ungkapnya.

OVO dan start-up sejenis telah berjasa besar karena melayani sektor pada pasar yang selama ini tidak pernah terjamah oleh perbankan. Karena itu, mereka seharusnya berhak mendapatkan insentif dari pemerintah. “Ini terus terang belum ada informasi Pak, follow up ke pemerintah soal-soal seperti ini,” ucapnya.

Yustinus menegaskan, pemerintah sangat menyadari bahwa Indonesia memiliki potensi digital yang terbesar dan tercepat perkembangannya di Asia Tenggara dengan pertumbuhan rata-rata 49% per tahun. Ditambah adanya lebih dari 2.000 perusahaan rintisan baru (start-up). Belum lagi potensi 175 juta pengguna internet di Tanah Air, kepemilikan smartphone 355,5 juta, dan pengguna aktif media sosial sebanyak 150 juta. “Namun, Indonesia memiliki tantangan terkait kapasitas inovasi dan adaptasi teknologi,” ungkapnya.
Mengacu laporan MCKinsey tahun 2018, setidaknya ekonomi digital memiliki dampak terhadap empat area, yakni manfaat finansial (financial benefits), kesetaraan sosial (social equality), penciptaan lapangan kerja (job creation), dan menguntungkan konsumen (buyer benefits).

Pajak Digital

Yustinus mengungkapkan pula bahwa untuk menjawab tantangan ekonomi digital ke depan, pemerintah telah mengalokasikan Rp 29,6 triliun dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan untuk meng-cover perluasan pembangunan infrastruktur digital di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).

Dia menjelaskan beberapa kebijakan perpajakan terkait transaksi digital atau perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.

Selain itu, Kementerian Keuangan sudah menunjuk 46 perusahaan digital sebagai pemungut, pelapor, dan penyetor PPN sebesar 10% dari setiap harga jual barang atau apa saja yang diperjualbelikan.

Adapun penarikan Pajak Penghasilan (PPh) atas subjek pajak luar negeri (SPLN) perusahaan digital asing belum dilakukan, sebab masih menunggu kesepakatan global.

“Untuk pengenaan pajak transaksi elektronik PPh sepakat ditunda menunggu inisiatif global selesai, supaya sejalan dengan inisiatif G20 dalam rangka memberikan sinyal yang baik untuk investor. Karena itu, pemerintah tidak boleh gegabah dan sembarang kejar pajak,” tegasnya.

Senin, 23 November 2020

Sumber: InvestorDaily.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only