JAKARTA — Demi mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 mendatang, Indonesia butuh investasi yang besar, tak tanggung-tanggung angkanya diperkirakan mencapai US$ 30 miliar atau sekitar Rp 423 triliun (asumsi kurs Rp 14.100 per US$).
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (30/11/2020).
Fabby menjelaskan perkiraan nilai investasi tersebut dengan asumsi perlunya tambahan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan sekitar 14-15 giga watt (GW) hingga 2025. Artinya, dalam setahun diperlukan tambahan kapasitas pembangkit listrik sekitar 3-4 GW.
Untuk mencapai penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT sekitar 3-4 GW per tahun tersebut, imbuhnya, diperlukan investasi sekitar US$ 5-6 miliar per tahun.
“Ini artinya, untuk capai target EBT di 2025, perlu investasi US$ 30 miliar,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (30/11/2020).
Angka investasi yang terbilang besar itu menurutnya tidak mungkin ditanggung sendiri oleh PT PLN (Persero), sehingga diperlukan dukungan dari pihak swasta. Sementara dalam mengembangkan EBT di Indonesia menurutnya masih ada beberapa kendala yang ditemui, antara lain ketidakpastian regulasi.
“Masalah EBT di Indonesia itu adalah ketidakpastian regulasi. Kalau pemerintah bisa memperbaikinya untuk tingkatkan minat investasi, maka tidak perlu banyak insentif fiskal,” ujarnya.
Dia mengatakan, insentif fiskal diperlukan khususnya untuk pembangkit skala kecil yang dipasang di daerah tertinggal karena Indonesia cukup luas terdapat banyak kepulauan kecil.
Biaya pembangunan pembangkit EBT di pulau-pulau kecil menurutnya relatif lebih mahal dan berisiko tinggi karena rendahnya permintaan. Oleh karena itu, untuk pembangkit semacam ini agar bisa bankable, ready viewed maka menurutnya diperlukan insentif fiskal dan finansial.
“Dan ini yang harus didukung dengan perbaikan dari sisi regulasi, kepastian regulasi, kemudian baru menarik untuk investasi. Artinya, kita harus bisa bawa investasi swasta dan juga ada kepastian pengembangan infrastruktur pendukung yang lain,” paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan insentif yang diberikan pemerintah untuk EBT ini sudah cukup banyak, seperti pembebasan pajak, tax holiday dan instrumen lain sudah ada sejak 2010.
Namun yang perlu digaris bawahi, imbuhnya, jika insentif sudah lama dikeluarkan tapi insentif tersebut ternyata tidak mampu mendongkrak investasi seperti yang diharapkan, maka perlu dilakukan evaluasi pada efektivitas pada insentif fiskal yang sudah diberikan tersebut.
“Investasi tahunan EBT hanya US$ 1 miliar, padahal kebutuhan investasi diperkirakan US$ 5-6 miliar per tahun. Apakah insentif fiskal sudah sesuai dengan risiko yang dihadapi pengembang? Apakah insentif fiskal memang dapat diakses? Apakah insentif fiskal mampu turunkan risiko yang muncul? Dan apakah memang berbagai insentif dorong investor yang berkualitas di sektor ini?” bebernya.
Melihat kondisi ini, Fabby menegaskan perlu adanya evaluasi secara lebih menyeluruh terhadap efektivitas dari berlakunya insentif ini. Dia menyebut pertumbuhan pembangkit EBT dalam lima tahun terakhir 2015-2019 hanya 400 mega watt (MW) per tahun, lebih rendah dari lima tahun sebelumnya 2010-2014 sekitar hampir 600 MW per tahun.
Berdasarkan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), penambahan kapasitas dengan asumsi pertumbuhan listrik sekitar 7%, maka kira-kira dibutuhkan pembangkit berbasis EBT 5 GW per tahun. Tapi, karena pertumbuhan listrik tidak mencapai 7%, maka pembangkit EBT yang diperlukan kira-kira menurun hanya menjadi 3-4 GW per tahun.
“Pencapaian lima tahun terakhir 400 MW, maka ini tidak terlalu efektif karena tidak bisa tarik investasi dan menarik penambahan kapasitas pembangkit yang lebih ambisius,” tuturnya.
Senin, 30 November 2020
Sumber: CNBCIndonesia.com
Leave a Reply