Kenaikan Tarif PPN Menjegal Pemulihan Ekonomi

JAKARTA. Inilah rencana pemerintah menggenjot penerimaan pajak secara mudah: menurunkan batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan saat bersamaan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Pebisnis pun memprotes rencana pemerintah itu.

Sebagai catatan, pemerintah memang berniat menurunkan batas PKP dan menaikkan tarif PPN. Dengan menurunkan batas PKP, artinya makin banyak pengusaha yang wajib menjaring PPN.

Dua rencana itu akan diterapkan tahun depan dan kini sedang digodok pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah akan segera mengajukan revisi aturan ke DPR untuk meloloskan rencana kenaikan tarif PPN. “Soal tarif PPN ini masih dikaji pemerintah, karena berkaitan dengan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),” kata Airlangga, Rabu (5/5).

Ihwal kenaikan tarif PPN, UU Nomor 42/2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah memang memberi peluang kenaikan tarif PPN menjadi 15%, dari 10% yang berlaku saat ini. Dengan menaikkan tarif PPN, petugas pajak juga tak perlu berkeringat karena proses pemungutan PPN dari konsumen dilakukan oleh pelaku usaha.

Tak pelak, kalangan pengusaha memprotes atas rencana ini. Apalagi, kenaikan tarif PPN akan menaikkan harga jual barang dan memberatkan konsumen.

Pada gilirannya, bisnis bisa lesu lagi. “Pengusaha masih berat. Masyarakat kecil juga akan dirugikan. Jika tekanan pandemi ditambah lagi dengan beban kenaikan PPN, konsumsi bisa tertekan lagi,” kata Ajib Hamdani, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), kepada KONTAN, Rabu (5/5).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey juga menilai, kenaikan PPN akan kian menekan industri manufaktur dan sektor ritel karena daya beli masyarakat turun lagi. Jika kebijakan itu diterapkan, ekonomi pun bisa makin nyungsep karena belanja masyarakat merupakan komponen terbesar produk domestik bruto (PDB).

Roy mengingatkan, di tengah pelemahan daya beli masyarakat, pemerintah seharusnya memberikan subsidi PPN, setidaknya untuk sebelas kebutuhan pokok masyarakat. Jika ada subsidi PPN minimal 50% saja, Roy yakin akan meningkatkan konsumsi dan akan menambah penerimaan negara karena pertumbuhan penjualan barang.

Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy menyarankan pemerintah tak buru-buru mengerek tarif PPN. Tahun depan pemerintah masih bisa memanfaatkan kelonggaran defisit anggaran dalam mengelola anggaran negara melalui utang.

Ia khawatir, kenaikan tarif PPN justru mengerek inflasi yang akan makin menekan belanja masyarakat. “Sebaiknya pemerintah fokus mendorong pemulihan ekonomi sesuai timeline yang telah ditetapkan pemerintah sendiri. Khawatirnya, kebijakan ini bertolak belakang dari upaya pemerintah untuk dorong ekonomi,” tandasnya.

Sumber: Harian Kontan, Kamis 06 Mei 2021 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only