PPN Lebih Murah untuk Bahan Pokok Bisa Jadi Pilihan

JAKARTA. Rencana pemerintah mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku saat ini 10% untuk mendorong penerimaan negara terus bergulir. Kebijakan PPN multitarif menjadi pilihan yang dianggap lebih menguntungkan bagi konsumen.

Tarif PPN yang lebih murah untuk produk kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat. Sebaliknya, kenaikan tarif atau PPN yang tinggi bagi produk tersier yang banyak dikonsumsi kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.

Direktur Jenderal (Ditjen) Pajak Suryo Utomo sebelumnya juga menyatakan, di beberapa negara yang menerapkan multitarif PPN, ada tarif standar (standard rate) yang bisa disesuaikan atas barang dan jasa lain.

Skema multitarif PPN, antara lain terdiri, dari pengenaan tarif PPN lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara, pengenaan tarif lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah.

Dalam kalkulasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, ada 14 negara yang menerapkan multitarif dengan rata-rata tarif PPN untuk barang dan jasa tertentu yang banyak dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah yakni sebesar 8,1%. Sedangkan rerata tarif PPN barang mewah sebesar 21,7%.

Namun, apakah hal ini akan menjadi dasar pengaturan tarif baru PPN, atas barang dan jasa dalam usulan sistem multitarif, Ditjen Pajak belum bisa memastikan. “Kami belum dapat memberikan perkiraan,” tandas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Neilmaldrin Noor kepada KONTAN, Senin (17/5).

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi Lukman menilai, usulan dua skema (tarif tunggal dan multitarif) yang diajukan pemerintah sama-sama akan menambah beban dunia usaha.

Adhi berharap, tarif PPN untuk produk makanan dan minuman bisa turun rendah menjadi 5%.”Kami sudah meeting dengan Menko Perekonomian. Kami minta tarif 5% karena memang itu untuk meningkatkan daya beli masyarakat agar harga jualan lebih terjangkau,” katanya.

Selain itu. penurunan tarif ini tepat lantaran saat ini harga bahan baku seperti gula, susu, terigu, gandum, hingga kedelai dan ongkos logistik sedang naik.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga menyebut sekitar 65% pengeluaran masyarakat bawah untuk beli makanan, 29% di antaranya untuk beli beras. Makanya, ia sepakat jika tarif PPN kebutuhan pokok lebih rendah. Ia mengusulkan skema multitarif merujuk konsep dasar perbedaan barang kebutuhan primer, sekunder, dan tersier dengan range terendah 5% dan tertinggi 15%. “Barang kategori tersier harusnya dikenakan tarif lebih tinggi,” katanya.

Namun Anggota Komisis XI DPR Fraksi Partai Golkar Mukhammad Misbakhun mempertanyakan dasar perubahan tarif ini. Ia tak sepakat jika pertimbangannya untuk mendongkrak penerimaan demi menutup defisit anggaran.

Sumber: Harian Kontan, Selasa 18 Mei 2021 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only