JAKARTA. Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mengubah skema tarifnya tahun depan. DPR setuju tarif PPN naik, asalkan ekonomi tahun ini tumbuh melejit.
Rencana kenaikan tarif PPN tersebut tertuang di Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2021. Perubahan yang dimaksud, berupa implementasi multi tarif PPN.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyebutkan, skema multitarif PPN, terdiri dari pengenaan tarif PPN lebih rendah untuk barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah. Sedangkan barang mewah atau sangat mewah bakal terkena tarif PPN lebih tinggi lagi.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (19/5) menyebutkan, selain tarif PPN, pemerintah juga telah memasukan klausul Goods and Service Tax (GST). Kendati demikian, ia belum memastikan skema GTS sebagai pengganti PPN yang berlaku saat ini. Yang jelas kebijakan perpajakan yang diusulkan oleh pemerintah ke parlemen akan memerhatikan kondisi ekonomi nasional.
Adapun skema GST diajukan dalam rangka melindungi industri manufaktur yang selama ini terpukul akibat pandemi virus korona. “Ada juga pembahasan pajak penjualan ataupun GST ada hal-hal yang diatur sehingga pemerintah lebih fleksibel mengatur sektor manufaktur perdagangan dan jasa, kisarannya akan diberlakukan pada waktu yang tepat skenarionya akan dibuat lebih luas sehingga tidak kaku seperti yang selama ini diberlakukan,” ujar Airlangga.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyatakan, DPR setuju apabila tarif pajak PPN naik pada tahun depan. Namun, ada syarat sebelum pemerintah menaikkan tarif PPN.
Kata Said, pemerintah harus memastikan ekonomi tahun ini bisa tumbuh sebesar 4,5% hingga 5,3%. Sementara dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2021 pun harus bisa dipastikan tumbuh hingga 7%.
Said mengatakan, sejauh ini pembahasan antara DPR dan Kemkeu, PPN akan merujuk pada skema multitarif. “Tidak bisa semuanya 15%,” katanya.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, banyak negara maju terutama negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD), menggunakan sistem multitarif. Tren tersebut mungkin bisa digunakan sebagai pertimbangan kebijakan tarif PPN di Indonesia.
Di sisi lain, Fajry menilai, sejak Undang-Undang Nomor 11/1994 tentang PPN dan PPnBM berlaku, secara legal struktural Indonesia telah beralih dari PPN ke GST. “Apakah GST lebih baik, pastinya broad-based lebih baik. Sesuai arah reformasi pajak di banyak negara,” ujar Fajry, Kamis (20/5).
Sumber: Harian Kontan, Jumat 21 Mei 2021 hal 2
Leave a Reply