Menilik sejumlah emiten yang berpotensi terdampak aturan pajak karbon
JAKARTA. Kementerian Keuangan sedang menyiapkan aturan perpajakan untuk emisi karbon atau carbon tax. Rencana ini tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022.
Pajak ini akan dikenakan berdasar jumlah emisi yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi atau dikenakan atas objek sumber emisi. Objek potensial yang dapat dikenakan pajak karbon seperti bahan bakar fosil dan emisi yang dikeluarkan oleh pabrik atau kendaraan bermotor.
Kepala Riset Yuanta Sekuritas Chandra Pasaribu menilai, wajar pemerintah mempertimbangkan menerapkan pajak karbon. Ini sejalan dengan perubahan iklim.
Sudah banyak negara menerapkan pajak ini. Emisi karbon dihitung secara finansial dan menjadi beban si pelaku atau orang yang membuang karbon dengan jumlah tinggi. “Ibarat orang yang membuang sampah banyak, maka harus menanggung biayanya.” terang Chandra, Senin (24/5).
Untuk pengenaan emisi atas aktivitas ekonomi, pemerintah kemungkinan akan fokus pada sektor padat karbon, seperti industri pulp and paper, semen, pembangkit listrik, juga petrokimia.
Jadi, penerapan pajak karbon ini berpotensi mempengaruhi sejumlah emiten yang ada di bursa saham. Aturan pajak ini juga berpotensi berpengaruh ke sektor batubara. “Meski demikian kami memperkirakan tentu akan ada negosiasi bagi produsen yang saat ini juga sedang menuju hilirisasi dan akan jadi pertimbangan bagi pemerintah dalam pengenaan pajaknya,” kata Dessy Lapagu, analis Samuel Sekuritas.
Seberapa besar dampaknya ke kinerja keuangan memang belum bisa dipastikan. Analis Phillip Sekuritas Indonesia Dustin Dana Pramitha menyebut, perlu melihat besaran tarif pajak yang dikenakan untuk menilai dampak ke kinerja keuangan emiten.
Waktu yang tepat untuk penerapan pajak karbon juga perlu diperhitungkan. Terutama dalam masa pemulihan pandemi saat ini. Lantaran daya beli masyarakat masih lemah, penerapan pajak bisa saja membebani emiten.
Waktu yang tepat
Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk ( INTP) Antonius Marcos juga berharap, pemerintah mendengar pendapat dari sektor riil dahulu sebelum memberlakukan pajak karbon ini. Apalagi, industri semen mulai bergerak lagi.
Industri semen baru menunjukkan pertumbuhan positif di Maret dan April tahun ini, dengan total pertumbuhan sekitar 3,9%. Tahun lalu, penjualan industri semen merosot 10,4% akibat pandemi.
Antonius memprediksi permintaan semen dapat tumbuh 5% tahun ini. “Kami di riil sektor berharap pemerintah memberi kesempatan untuk pulih tahap demi tahap dalam menghadapi krisis pandemi ini, ditambah dengan adanya kelebihan pasokan kapasitas semen hampir sebesar 55 juta ton dan juga di tengah menghadapi kenaikan biaya energi dengan tingginya harga batu bara dan harga fuel saat ini,” kata Antonius.
Menurut Chandra, INTP bisa menjadi salah satu contoh adaptasi perusahaan untuk menurunkan emisi karbon, lewat fasilitas refused derived fuel (RDF), atau fasilitas yang mengubah limbah menjadi bahan bakar. Namun, efektivitas penggunaan RDF dalam memitigasi pajak karbon nantinya akan tergantung kepada aturan detail dari pajak karbon tersebut. Proyek RDF INTP di Citeureup, diharapkan rampung pada kuartal IV-2021.
Chandra menilai, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dini agar para pelaku mempunyai waktu menurunkan atau mengontrol emisi karbon. Dengan begitu, pajaknya menjadi kecil atau bahkan tak perlu membayar jika emisi yang dikeluarkan sampai di bawah ambang batas.
Sumber: Harian Kontan, Selasa 25 Mei 2021 hal 4
Leave a Reply