Tax Amnesty Jilid II & Pintu Taubat Pengemplang Pajak (Lagi)!

Jakarta — Wacana pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid II akhir-akhir ini kembali ramai menjadi perbincangan. Tak bisa ditampik, pro dan kontra pun menyeruak.

Adanya wacana Tax Amnesty Jilid II pertama kali mengemuka saat awak media berbincang dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada pekan lalu.

“Apa yang akan diatur UU tersebut ada di dalamnya ada soal PPh, termasuk tarif PPh orang per orang dan pribadi dan pengurangan tarif PPh badan dan PPN barang jasa , pajak penjualan atas barang mewah, dan terkait UU cukai, ada juga carbon tax atau pajak karbon, dan di dalamnya juga ada pengampunan pajak,” ujarnya, Rabu (19/5/2021).

Program Tax Amnesty Jilid II muncul di tengah pandemi Covid-19. Program ini dianggap ampuh menjadi solusi dari ketidakmampuan pemerintah mengumpulkan pajak untuk membiayai kebutuhan.

Seperti diketahui, pandemi telah memukul telak perekonomian di Indonesia, yang membuat ekspor dan impor jatuh lesu. Ditambah kinerja ekonomi selama 2020 dan Kuartal I-2021 masih belum berjalan sesuai ekspresi.

Masalahnya, berkaca dari pengalaman Tax Amnesty jilid I 2016 silam, program itu terbilang gagal. Tax amnesty berlangsung selama 9 bulan dengan pembagian 3 tahap sesuai tarif yang juga berbeda. Hasilnya deklarasi harta mencapai Rp 4.800 triliun, repatriasi Rp 146 triliun dan uang tebusan Rp 130 triliun.

Realisasi tersebut tentu jauh sekali dari target yang diharapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bila masih ingat, Jokowi sempat mengumbar sudah memiliki data orang Indonesia dengan total harta Rp 11 ribu triliun. Diyakini harta Rp 1.000 triliun bakal mudik ke tanah air.

Secara total, jumlah WP yang mengikuti Tax Amnesty Jilid I kurang dari 1 juta atau tepatnya hanya 972.530. Jumlah tersebut hanya 2,5 % dari wajib pajak yang terdaftar pada 2017 yakni pada angka 39,1 juta.

Setelah 5 tahun pasca dilaksanakan tax amnesty, rasio kepatuhan Wajib Pajak (WP) masih pada angka 70%, jauh dari standar yang ditetapkan OECD yakni pada angka 85%.

Data Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan realisasi rasio kepatuhan wajib SPT PPh 2015 sebesar 60%, wajib SPT PPh 2016 sejumlah 61%, wajib SPT PPh 2017 sebesar 73%, wajib SPT PPh 2018 sejumlah 71%, dan wajib SPT PPh 2019 yakni 73%.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, tax amnesty tidak terbukti meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang, terbukti periode 2018-2020 rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3%.

“Rasio pajak atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB bukannya naik malah melorot terus. Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty,” jelas Bhima.

Selain itu, Bhima memandang pemberian tax amnesty rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara. Atas nama pengampunan pajak perusahaan yang melakukan kejahatan keuangan, bisa memasukkan uang ke Indonesia. “Terlebih saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi covid19,” ujarnya.

Pemerintah, kata Bhima seharusnya lakukan kebijakan untuk mengejar pajak mereka yang tidak ikut tax amnesty 2016 lalu. Sudah lengkap data tax amnesty jilid I, kemudian ada Pertukaran Pajak antar Negara (AEOI) dan dokumen internasional Panama Papers hingga Fincen Papers.

Idealnya dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya. Ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang gagal.

Ekonom Senior Dradjad Wibowo meminta agar rencana ini betul-betul dikaji dengan matang dan komprehensif. Tujuan diberlakukannya tax amnesty, kata dia, harus lebih jelas dan terukur.

“Apakah ini memperbaiki basis pajak kita, sehingga membantu pemulihan ekonomi pasca pandemi atau justru mengganggu basis pajak kita,” kata Dradjad saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (21/5/2021).

Sumber : CNBCIndonesia.com. Senin, 24 Mei 2021.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only