Proyek Gasifikasi Batubara Terganjal Harga Batubara

Hitungan Indef, proyek hilirisasi tak menarik jika harga batubara di atas US$ 25 per ton.

JAKARTA. Kenaikan harga batubara dinilai menghambat proyek hilirisasi batubara di dalam negeri. Apalagi, keekonomian produk dari gasifikasi tersebut belum menguntungkan produsen batubara.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, harga batubara acuan (HBA) pada April 2022 menyentuh US$ 288,40 per ton. Ini adalah level tertinggi harga batubara acuan di dalam negeri sepanjang sejarah.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad memaparkan sejumlah poin penting yang patut menjadi perhatian pemerintah dan pelaku usaha dalam pelaksanaan gasifikasi batubara. Dalam kajian Indef, kelayakan gasifikasi batubara bergantung level harga keekonomian batubara dan produk dimethyl ether (DME).

“Diketahui harga keekonomian batubara US$ 25 per ton dan DME sebesar US$ 0,6 per kg menjadi penentu gasifikasi batubara dapat dilaksanakan di Indonesia,” ungkap Ahmad dalam Diskusi Publik Keekonomian Gasifikasi Batubara Indef, Kamis (7/4).

Ahmad bilang, jika harga batubara melampaui US$ 25 per ton, maka proyek gasifikasi dapat dikategorikan tidak layak. Jadi, kenaikan harga batubara dinilai tidak akan merangsang perkembangan proyek gasifikasi.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha mengungkapkan, harga LPG di Indonesia yang digunakan sebagai acuan untuk harga produk DME cenderung fluktuatif. “Perlu satu formulasi [harga] yang tidak berfluktuasi,” ungkap dia di forum yang sama.

Menurut Satya, pemerintah juga perlu memberikan kepastian alokasi pasar untuk produk hilirisasi. Bukan hanya itu, DEN mengusulkan perlunya penerapan subsidi langsung kepada masyarakat untuk produk DME.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, para perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diwajibkan melaksanakan hilirisasi menghadapi sejumlah tantangan, antara lain terkait biaya produksi yang kian tinggi. “Kita bicara gasifikasi, maka kita bicara investasi yang mungkin 25-30 tahun lagi. Sementara semakin tua umur tambang biayanya makin tinggi,” kata dia.

Hendra melanjutkan, bagi para pelaku usaha, aspek keekonomian menjadi salah satu kunci utama dalam pelaksanaan proyek, termasuk untuk gasifikasi. Belum lagi, industri pertambangan juga menghadapi tantangan pendanaan. Perbankan dalam negeri maupun luar negeri mulai mengurangi komitmen pembiayaan untuk sektor pertambangan.

Adapun usulan pemberian insentif dinilai perlu demi mendorong hilirisasi batubara. Hendra bilang, setidaknya sudah ada dua insentif yang mendapatkan lampu hijau, yakni tarif royalti 0% untuk batubara yang digunakan untuk gasifikasi. Satu insentif lainnya adalah masa berlaku IUP sesuai umur ekonomis proyek gasifikasi.

Masih ada sejumlah insentif lain yang diharapkan dapat diberikan antara lain tax holiday (PPh badan secara khusus sesuai umur ekonomis gasifikasi batubara), formula harga khusus batubara untuk gasifikasi, pembebasan PPN jasa pengolahan batubara menjadi syngas sebesar 0% dan pembebasan PPN EPC kandungan lokal.

APBI juga berharap insentif berupa harga patokan produk gasifikasi seperti harga patokan DME, kemudian insentif untuk pengalihan sebagian subsidi LPG ke DME sesuai porsi LPG yang disubstitusi serta kepastian off taker atau pembeli produk hilirisasi. Untuk usulan terakhir, disebutkan pembahasannya sedang bergulir.

Hendra melanjutkan, gasifikasi batubara memang memberi peluang untuk pemanfaatan batubara dalam negeri. “Kebanyakan cadangan batubara kita kalori menengah dan rendah dan tentunya dengan proyek gasifikasi ini jadi peluang batubara kita bisa dimanfaatkan,” ujar Hendra.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Lana Saria menyebutkan, sudah ada 11 perusahaan yang berkomitmen melaksanakan hilirisasi batubara. “Tercatat 11 perusahaan yang sudah menyiapkan hilirisasi batubara hingga 2030,” ungkap dia.

Lana melanjutkan, langkah hilirisasi batubara menjadi salah satu upaya optimalisasi pemanfaatan batubara. Dari 11 perusahaan tadi, tiga proyek yang digarap tiga perusahaan sudah berproduksi.

Ketiganya yaitu Proyek Semi Kokas oleh PT Megah Energi Khatulistiwa berkapasitas input 1 juta ton per tahun untuk menghasilkan semi kokas 500.000 ton per tahun. Kemudian Proyek Coal Upgrading-Briqueting oleh PT Thriveni berkapasitas input 130.000 ton untuk menghasilkan briket 79.000-85.000 ton. Terakhir, Proyek Coal Briqueting berkapasitas input 30.000-40.000 ton per tahun untuk menghasilkan briket 10.000-20.000 ton per tahun.

Sumber : Harian Kontan Sabtu 09 April 2022 hal 10

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only