Kendati sinyal pemulihan ekonomi tahun ini makin kuat, namun proses pemulihan tetap tidak mudah. Inflasi tinggi mengancam.
Lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya. Begitulah potret perekonomian saat ini. Masih segar dalam ingatan betapa kuatnya hantu resesi mencengkram seluruh negara di berbagai belahan dunia akibat pandemi Covid-19.
Perekonomian global ambruk dicabik-cabik pandemi. Tak terkecuali Indonesia yang mengalami kontraksi 2,07% sepanjang 2020. Memasuki tahun berikutnya perekonomian masih terseok-seok. Bahkan, di awal tahun 2021 wabah masih terus meruyak membuat denyut perekonomian masih kembang kempis. Pada periode itu laju pertumbuhan ekonomi nasional masih bertengger di zona negatif 0,74%.
Namun, di kuartal II 2021 kondisinya berbalik arah dan melesat ke zona positif di level 7,07%. Selain karena faktor pelonggaran aktivitas masyarakat menyusul tren pandemi yang melandai, laju pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 juga turut dipengaruhi momentum Hari Raya Idul Fitri.
Kinerja gemilang itu sempat memudar begitu memasuki kuartal III 2021 menyusul datangnya terjangan gelombang kedua pandemi pasca Hari Raya Idul Fitri pada pertengahan Juli tahun lalu. Hasilnya, seperti terlihat pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat perekonomian periode Juli-September 2021 hanya tumbuh 3,51% (year on year/yoy).
Untungnya, pandemi Covid-19 segera mereda, sehingga pemerintah kembali melonggarkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat sejak akhir Agustus lalu. Alhasil, kini perekonomian mulai membaik lagi seiring dilonggarkannya kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat.
Tentu situasi yang mulai kondusif ini benar-benar dimaksimalkan pemerintah buat memacu pertumbuhan ekonomi. Kendati masih dibayang-bayangi pandemi, khususnya varian omicron, toh pemerintah jauh lebih percaya diri dalam menatap pemulihan ekonomi tahun ini. Indikasinya tidak lain adalah membaiknya sejumlah indikator perekonomian sepanjang 2021, khususnya di periode akhir tahun.
Ya, cahya di ujung tahun 2021 memang mulai tampak terang. Bank Indonesia (BI), misalnya, mencatat Indeks Kekayaan Konsumen (IKK) pada kuartal IV-2021 sudah kembali ke zona optimis menjadi sebesar 116,8. Sebelumnya, IKK tercatat berada di zona pesimis selama tiga bulan berturut-turut, sejak Juli hingga September 2021.
Berikutnya yang membanggakan adalah angka pertumbuhan manufaktur per kuartal IV/2021. Pada periode tersebut sektor olahan ini berhasil tumbuh sebesar 4,92%. Dengan pertumbuhan itu manufaktur menyumbang 1,01% (yoy) terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sektor perdagangan juga tak kalah kinclong. Kinerja ekspor nonmigas sepanjang 2021 melesat jauh hingga ke level US$ 219 miliar. Sepanjang 12 bulan itu, Indonesia menorehkan rekor nilai ekspor sebanyak empat kali, yakni di bulan April, Agustus, Oktober, dan November.
Meroketnya kinerja ekspor itu didongkrak permintaan dan harga komoditas yang terus meningkat di pasar global. Semua torehan positif itu berhasil mengantarkan ekonomi Indonesia tahun 2021 tumbuh sebesar 3,69%.
Ancaman inflasi
Kendati sinyal pemulihan ekonomi tahun ini makin kuat, namun proses pemulihan tidak semudah yang dibayangkan. Pulihnya perekonomian dunia justru membangkitkan momok inflasi yang dapat menghambat proses pemulihan itu sendiri. Pasalnya, inflasi dapat menekan daya beli masyarakat yang selama ini berperan sebagai motor utama penggerak roda pertumbuhan ekonomi.
Tak percaya? Tengok saja, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat inflasi tahunan per Desember 2021 sebesar 1,87%. Angka tersebut melebihi ekspetasi banyak analis yang memperkirakan inflasi tahunan sebesar 1,81%, dan merupakan angka inflasi tahunan tertinggi dalam 2 tahun terakhir.
Penyumbang inflasi terbesar datang dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan kenaikan sebesar 0,41%. Kemudian diikuti komponen transportasi yang datangnya dari angkutan udara dengan kenaikan sebesar 0,06%.
Laju inflasi yang merangkak naik ini tentu tak lepas dari melandainya kasus Covid-19, sehingga pemerintah membuka kembali beberapa sektor non-esensial. Alhasil, aktivitas ekonomi pun kembali bergeliat, dan mendorong permintaan masyarakat.
Ya, kondisi ini bisa dimaklumi lantaran geliat ekonomi dan inflasi bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pasalnya, aktivitas ekonomi yang kembali bergeliat otomatis mendorong permintaan masyarakat yang memicu kenaikan inflasi. Di saat bersamaan, tren kenaikan harga komoditas di pasar global juga telah memberikan tekanan pada inflasi.
Celakanya, invasi Rusia ke Ukraina juga turut mengguncang harga komoditas seiring munculnya gangguan pasokan komoditas energi dan bahan pangan dari bekas negara pecahan Uni Soviet tersebut. Tak pelak, konflik ini membuat harga komoditas lainnya, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan batubara.
Seperti kita tahu, Rusia adalah pompa bensin terbesar di dunia. Bersama Ukraina, Negeri Beruang Merah itu juga merupakan penghasil sejumlah komoditas pangan terbesar dunia, seperti gandum dan jagung.
“Itu pasti akan berdampak terhadap inflasi, bisa dilihat dari banyaknya tingkat inflasi negara maju dan beberapa negara berkembang yang sudah meningkat cukup signifikan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Di Amerika Serikat, misalnya, kenaikan harga komoditas energi dan bahan pangan telah mendorong tingkat inflasi tahunan negara ini mencapai 7,9% di Februari 2022. Negara-negara di Benua Eropa juga mencatat rekor inflasi. Sebut saja laju inflasi di Inggris yang mengalami kenaikan luar biasa. Pada Januari 2022, laju inflasi Inggris mencapai 5,5%, atau yang tertinggi sejak Maret 1992.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Kendati tidak setinggi inflasi di negara maju, lonjakan harga komoditas energi dan pangan di pasar global juga menyulut kenaikan inflasi di Indonesia. BPS mencatat inflasi laju inflasi pada Januari 2022 sebesar 0,65%. Inflasi tersebut jauh lebih tinggi dari inflasi di bulan Desember 2021, yang hanya sebesar 0,57%.
Dengan begitu, inflasi secara tahunan (yoy) tercatat sebesar 2,18%. “Secara tahunan, inflasi Januari 2022 ini merupakan angka tertinggi sejak Mei 2020 dimana saat itu terjadi inflasi 2,19%,” kata Kepala BPS Margo Yuwono.
Laju kenaikan inflasi di Indonesia tahun ini bisa tembus hingga ke level 4%.
Sementara inflasi tahunan pada Februari 2022 sedikit melandai di level 2,06%. Inflasi inti pada periode ini tercatat 0,31% (month to month/mtm), menurun dari inflasi pada Januari 2022 sebesar 0,42% (mtm).
Pada periode ini kelompok pengeluaran dengan inflasi tahunan tertinggi berasal dari perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 3,4% (yoy). Kemudian kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 2,97% (yoy), serta perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 2,97% (yoy), serta perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 2,85% (yoy). Sementara itu kelompok pengeluaran informasi, komunikasi, dan jasa keuangan mengalami deflasi tahunan sebesar 0,25% (yoy).
Namun, inflasi yang melandai ini hanya sesaat. Diprediksi inflasi bulan Maret kembali tinggi. BI memperkirakan, inflasi Maret mencapai 0,68% secara bulanan. Proyeksi tersebut di dapatkan dari Survei Pemantauan Harga pada minggu keempat Maret 2022. Dengan adanya perkembangan tersebut, perkiraan inflasi Maret 2022 secara tahun kalender adalah sebesar 1,24% (year to date/ytd) dan secara tahunan sebesar 2,68% (yoy).
“Penyumbang utama inflasi sampai minggu keempat Maret 2022 masih berasal dari kelompok makanan dan bahan bakar rumah tangga,” ujar Erwin Haryono, Kepala Departemen Komunikasi BI.
BI juga memprediksi inflasi April berpotensi melonjak lebih tinggi. Hal ini tercermin dari Indeks Ekspetasi Harga Umum (IEH) April yang diperkirakan mencapai 139,1 atau lebih tinggi dari 129,2 pada bulan sebelumnya. Sementara Indeks Ekspetasi Penjualan (IEP) April 2022 diperkirakan mencapai 151,8 atau meningkat dibandingkan 141,1 pada bulan sebelumnya.
Di picu PPN & Ramadan
Selain karena tekanan harga energi dan pangan di pasar global, lonjakan inflasi April juga dipicu tingginya permintaan selama Ramadan dan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%.
“Kendati kenaikannya kecil,tetapi karena cakupannya luas pada transaksi barang dan jasa maka akan ada efek terhadap total inflasi,” ujar Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia.
Ia memperkirakan, inflasi di bualan April 1% lebih tinggi dibandingkan inflasi pada Ramadan tahun lalu yang di bawah 1%. Tren inflasi diprediksi masih tetap tinggi di bulan-bulan berikutnya menyusul adanya potensi kenaikan harga komoditas energi di dalam negeri.
Mulai 1 April 2022, Pertamina juga menaikkan harga BBM jenis Pertamax dari Ro 9.000 per liter jadi antara Rp 12.500 per liter sampai Rp 13.000 per liter di seluruh wilayah Indonesia. Kenaikan harga ini dilakukan untuk menyesuaikan lonjakan harga minyak mentah dunia yang belakangan ini sudah di atas US$ 110 per barel.
Rencana kenaikan itu sudah dikonfirmasi langsung oleh Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agung Pribadi. “Dengan mempertimbangkan harga minyak Maret yang jauh lebih tinggi dibanding Februari, maka harga keekonomian atau batas atas BBM umum RON 92 April 2022 akan lebih tinggi lagi dari Rp 14.526 per liter, bisa jadi Rp 16.000 per liter,” ujarnya. Dengan berbagai pertimbangan, Pertamina merilis harga Pertamax mulai Rp 12.500/liter.
Sri Mulyani mengakui kuatnya tekanan harga dari sisi produsen menyusul lonjakan harga komoditas di pasar dunia. Namun, di dalam negeri tetap terkendali. “Bagaimana transisinya yang masuk ke Indonesia dapat dijaga, harga-harga yang dibayar oleh konsumen, masyarakat dan keluarga,” timpal Febrio Kacaribu (BKF) Kementerian Keuangan.
Terlepas dari berbagai faktor pendorong kenaikan inflasi tersebut, pemerintah tetap percaya diri, inflasi tahun ini masih sesuai target di kisaran 2% hingga 4%. Dus, pertumbuhan ekonomi tahun ini pun ini tetap di angka 5,2%. “Target inflasi itu sudah termasuk dampak dari semua harga yang kami pantau saat ini, termasuk kenaikan PPN 11%,” lanjutnya.
Sementara Faisal melihat, inflasi Indonesia tahun ini bisa tembus hingga 4% lebih dari dua kali lipat inflasi tahun lalu yang masih di bawah 2%. Tingginya inflasi jelas menekan daya beli masyarakat, sehingga berdampak negatif terhadap proses pemulihan ekonomi.
Untuk meminimalisir terkanan inflasi pemerintah bisa menempuh beberapa cara. Salah satunya dengan menunda kenaikan PPN. Pendapatan sama juga disampaikan Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF yang meminta pemerintah mengkaji kembali kebijakan-kebijakan yang kontra produktif, seperti kenaikan PPN menjadi 11%.
Apalagi kontribusi kenaikan PPN terhadap APBN tidak terlalu signifikan, hanya menyumbang sekitar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun. Sementara dampaknya terhadap daya beli masyarakat cukup signifikan, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah.
Itu sebabnya sekarang banyak negara memilih menunda menaikan pajaknya karena kondisi perekonomian belum stabil, seperti Korea Selatan dan beberapa negara Eropa. Pun di kawasan PPN yang diberlakukan pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan negara tetangga. Misalnya, Singapura yang mengenakan PPN 7%, Thailand 7%, dan Vietnam 10%.
Karena itu, pemerintah harus jeli dalam mengambil kebijakan agar proses pemulihan ekonomi tidak terganggu. “Jika inflasi naik terlalu tinggi jelas berisiko bagi pertumbuhan ekonomi 2022, sehingga target yang sudah ditetapkan pemerintah bisa meleset,” ujarnya.
Namun, pemerintah menepis anggapan itu. Iskandar Simorangkir, Deputi I Kementerian Koordinator Perekonomian menyatakan, pemerintah telah menyiapkan kebijakan yang tepat mengantisipasi dampak inflasi terhadap perekonomian termasuk dengan menyiapkan bantalan bagi masyarakat menengah ke bawah yang daya belinya akan terganggu.
Selain itu, pemerintah juga akan menjaga keseimbangan antara konsumen dan produsen dengan menjaga harga jual bahan pangan sesuai harga ke perekonomian, tidak langsung di lepas sesuai harga pasar yang margin keuntungannya sulit terkendali.
Kita sadar, ketika harga naik maka daya beli turun, ini pemerintah lagi siapkan segala kebijakannya,” ujarnya.
Sumber : Tabloid Kontan 04-09 April 2022 hal 20,21
Leave a Reply