Pajak Karbon: Inkonsistensi antara Filosofi dan Implementasi

Jakarta – Pajak karbon yang semula akan diterapkan pada 1 April lalu pada akhirnya diundur menjadi 1 Juli 2022. Positifnya filosofi kebijakan tersebut sayangnya tidak berjalan konsisten dalam tataran praktiknya.

Kementerian Keuangan tengah menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan pajak karbon. Pemerintah akan menerapkan pajak karbon saat regulasi dan kesiapan sektor ketenagalistrikan sebagai sektor pertama yang akan dikenakan pajak karbon lebih siap di Indonesia.

“Kesiapan ini penting agar tujuan inti dari penerapan pajak karbon memberikan dampak yang optimal sehingga pemerintah memutuskan penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam rilis Jumat (1/4/2022).

Mengacu pada IBFD International Tax Glossary tahun 2015, pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Sederhananya, pajak karbon dikenakan atas penggunaan bahan bakar berbasis fosil guna menekan emisi karbondioksida dan gas rumah kaca lain.

Sementara itu merujuk pada Tax Foundation (2019), pajak karbon juga dianggap sebagai pigouvian tax. Pigouvian tax sendiri memiliki pengertian pajak atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif.

Eksternalitas negatif adalah aktivitas ekonomi yang memicu dampak negatif pada pihak ketiga baik saat produksi, distribusi, dan konsumsi dari suatu produk. Akibatnya, individu yang membeli barang yang dibuat melalui proses produksi padat karbon menanggung biaya tambahan karena memicu ongkos perbaikan atas efek kerusakan lingkungan yang timbul.

Di antara negara-negara di seluruh dunia, Finlandia menjadi pionir yang menerapkan pajak karbon, tepatnya pada 1990. Pungutan pajak karbon di Finlandia saat ini mencapai US$ 24,39 per ton karbon. Negara Skandinavia lainnya seperti Swedia dan Norwegia mengikuti pada 1991.

Negara-negara lainnya ikut menerapkan kebijakan pajak karbon seperti Jepang dan Australia pada 2012, Inggris pada 2013, dan Cina pada 2017. Di Asia Tenggara, baru Singapura yang memberlakukan kebijakan pajak karbon pada 2019.

Di Indonesia sendiri, menurut Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tarifnya ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Meski bertujuan positif, penerapan pajak karbon berdampak negatif apabila dilakukan tergesa-gesa, apalagi jika hanya ditujukan untuk memburu kenaikan penerimaan negara tanpa kalkulasi yang matang atas ongkosnya terhadap perekonomian.

Kita perlu melihat Prancis. Pajak karbon yang berlaku sejak 2014 lalu dinaikkan lagi pada 2018. Tak disangka, kaum menengah Prancis-baik aktivis lingkungan ataupun bukan, bergabung dalam massa rompi kuning (yellow vest), untuk menolak kenaikan tersebut.

Penerapan pajak karbon memang bisa menimbulkan kenaikan harga energi (baik BBM maupun listrik) karena bertambahnya ongkos produksi. Daya beli masyarakat melemah karena tingginya harga barang dan biaya transportasi, sementara pelaku usaha sulit bersaing di pasar ekspor.

Dari sini, kesejahteraan masyarakat terdampak langsung. Kenaikan biaya akibat pajak karbon mendorong pengusaha mengurangi pengeluaran, agar tetap kompetitif. Karena variabel pengeluaran yang paling mudah dipangkas adalah karyawan, pengangguran pun merajalela.

Kini, penerapan pajak karbon kian menghadapi dilema setelah pecah perang antara Rusia dan Ukraina yang didukung Blok Barat. Pajak karbon yang diidam-idamkan menjadi solusi transisi energi justru menjadi ‘senjata makan tuan’.

Permintaan energi terkerek naik karena ekonomi berangsur membaik setelah pelonggaran pembatasan sosial diberlakukan. Faktor lain yang mengerek permintaan adalah datangnya musim dingin saat itu dan gangguan rantai pasokan karena efek karantina wilayah (lockdown).

Namun dari segi pasokan, suplai terbatas karena faktor politis, yakni embargo pasokan minyak dan gas (migas) asal Rusia. Semua harga energi fosil pun meningkat, mulai dari minyak mentah, batu bara hingga gas.

Batu bara sangat berharga bagi Jerman sebagai pengimpor terbesar batu bara Rusia, bersama Polandia dan Hungaria. Pada 2021, Jerman membayar Rusia sekitar 2,2 miliar euro (US$ 2,4 miliar), setara dengan 50% konsumsi batu bara Rusia di Eropa tiap tahunnya.

Pengimpor Batu Bara Rusia di Eropa (dalam Juta Ton)

Ini menjadi potret bahwa transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) tak semudah yang sering dipromosikan. Faktor keekonomian menjadi alasan terbesarnya. Tenaga surya dan bayu terbukti tak bisa serta-merta menggantikan energi fosil di Benua Biru.

Sebaliknya, sebuah ironi besar tercipta. Negara-negara Eropa justru seperti berlomba memakai lagi batu bara di tengah minimnya gas. Jerman mengaktifkan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sementara Inggris mengeluarkan lagi izin tambang batu bara yang telah disetop 30 tahun terakhir.

Inkonsistensi Obyek Pajak Karbon

Di balik dampak buruk pajak karbon terhadap perekonomian, yang sejauh ini belum diantisipasi melalui kebijakan publik yang jelas dan terukur (guna memastikan efek buruk bagi rakyat tak mengada), ada persoalan lain dalam penerapan pajak karbon yang secara filosofis keliru.

Menurut pemerintah, pajak karbon dikenakan dengan menganut prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim usaha dan masyarakat kecil. Dana yang terkumpul akan dipakai utamanya untuk membiayai program pengendalian perubahan iklim, dan subsidi EBT.

“Kami yakin ini bisa jadi pendorong berkembangnya EBT di Indonesia,” papar Peneliti Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto dalam Webinar Investasi Energi Baru dan Terbarukan dalam Pengembangan Biomassa di Indonesia, pada Rabu (16/02/2022).

Jika bicara keyakinan, Joko juga perlu ingat bahwa Eropa dulu sangat yakin bahwa pajak karbon yang dijalankan sejak 1 dekade terakhir bisa mempercepat transisi dari energi fosil ke EBT. Namun seperti yang kita lihat sekarang di Eropa, justru ironilah yang tercipta.

Di sisi lain, prinsip keadilan yang hendak dijalankan pun tak sepenuhnya dijalankan. Sebagaimana diketahui, putaran pertama pajak karbon akan diberlakukan untuk PLTU yang menghasilkan emisi melebihi batas atas yang ditetapkan. Skemanya adalah cap and tax.

Namun, terjadi ketidakadilan karena pajak karbon hanya dikenakan pada PLTU dan bukan pada pembangkit listrik lain baik yang bersumberkan tenaga surya (PLTS), bayu (PLTB), panas bumi (PLTP), dan bahkan berbasis gas (PLTG). Padahal, semuanya memiliki jejak karbon dan memiliki efek rumah kaca.

Studi terbaru, misalnya, menunjukkan bahwa PLTG menghasilkan efek rumah kaca yang lebih buruk ketimbang PLTU, sebagaimana diungkap dalam makalah penelitian berjudul “Climate Impacts of Fossil Fuels in Today’s Energy Systems”(2022).

“Tambahan metana dalam atmosfer tidak menguntungkan kehidupan tanaman dan, seperti yang telah disampaikan, ia adalah GRK yang lebih potensial memicu pemanasan global [ketimbang CO2],” tulis Lars Schernikau dan William Hayden Smith dalam riset tersebut.

Ketimpangan terjadi karena filosofi pengenaan pajak karbon hanya mengacu pada ada-tidaknya pembakaran (combustion) dalam pembangkitan listrik. Fakta bahwa ada jejak karbon atau metana ditemukan dalam proses produksi dan pengangkutan solar panel, bilah PLTB, semen PLTP dan PLTG diabaikan.

Bias demikian, menurut Lars dan William, berpeluang membuat kebijakan perubahan iklim seperti pajak karbon menjadi salah alamat: mencekik PLTU yang gas emisinya bisa ditekan dengan teknologi ultra super-critical (USC) dan bahkan diserap tumbuhan, sementara emisi metana yang lebih berbahaya justru dibiarkan memicu efek rumah kaca.

Sumber : CNBC Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only