Pasar obligasi rawan gejolak di tengah tren normalisasi bunga. Simak pilihan aset fixed income dengan potensi imbal hasil atraktif.
Kelas aset fixed income kerap menjadi pilihan investor dalam mendiversifikasi portofolio. Sebab, instrumen surat utang atawa obligasi menawarkan pendapatan tetap berupa bunga atawa kupon yang dibayar secara berkala. Namun, gejolak di pasar obligasi belakangan ini mungkin bikin investor ragu menempatkan dananya.
Wajar, bank sentral Amerika Serikat alias The Fed berniat mengerek suku bunga acuannya hingga tahun depan. Maka, Bank Indonesia berpeluang mengekor jejak yang sama. Awal Mei lalu, saat The Fed menaikkan suku bunga 50 basis poin, pasar surat utang negara (SUN) goyah. Harga obligasi melorot. Ini terefleksi pada yield SUN tenor 10 tahun yang naik hingga mencapai 7,4%, dari posisi awal tahun di 6,3%.
Dus, produk turunan obligasi, yakni reksadana pendapatan tetap (fixed income fund) terimbas. Maklum, sebagian besar atau 80% aset reksadana pendapatan tetap diinvestasikan pada produk obligasi, seperti SUN. Mengutip Bareksa, rata-rata imbal hasil reksadana pendapatan tetap minus 1,12% year to date 31 Mei 2022.
Tapi, tak semua instrumen fixed income rawan tergilas perubahan suku bunga. Jenis SBN ritel, misalnya, menjanjikan pengembalian pokok investasi sepenuhnya, di samping memberikan kupon.
SBN ritel adalah surat utang yang ditujukan khusus bagi investor ritel. Saat ini, pemerintah sedang menawarkan seri ritel teranyar, yaitu Savings Bond Ritel atau SBR011. Investor punya kesempatan memesan instrumen utang bertenor dua tahun ini mulai 25 Mei sampai 16 Juni 2022 mendatang.
Berbeda dengan investasi SUN yang butuh modal ratusan juta rupiah, pembelian SBR011 bisa bermodal paling sedikit Rp 1 juta. Jika punya dana lebih, maksimal pembelian bisa sampai Rp 2 miliar.
SBR011 menawarkan kupon mengambang dengan tingkat bunga minimal alias floating with floor. Kupon minimal dipatok 5,5% per tahun, yang berasal dari besaran BI-7 day reverse repo rate saat ini (3,5%) + spread tetap 200 basis poin.
Tingkat kupon minimal tidak berubah sampai dengan jatuh tempo pada 10 Juni 2024 mendatang. Kupon dibayarkan setiap bulan.
Tapi, perlu diingat, SBR011 tidak dapat diperdagangkan alias non-tradeable. Artinya, harus dipegang hingga jatuh tempo. Hanya, ada fasilitas early redemption atau pencairan lebih awal sebelum tanggal jatuh tempo sebesar 50% dari nominal investasi. Fasilitas ini tersedia setelah setahun.
Menurut Ramdhan Ario Maruto, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas, di tengah tren kenaikan suku bunga global, kupon yang ditawarkan SBR011 lebih tinggi dibandingkan produk obligasi ritel sebelumnya yang di bawah 5%. Ini lantaran perhitungan suku bunganya mengacu yield SUN pada saat penerbitan SBR011 yang juga dalam tren naik. “Dengan ada sedikit premi, untuk menarik minat investor ritel,” papar dia.
Prospek imbal hasil
Dengan mengenali karakteristik masing-masing instrumen fixed income, Anda akan lebih gampang memilih aset yang tepat sesuai dengan tujuan portofolio dan profil risiko.
Di samping karakteristik, tentu, potensi imbal hasil jadi pertimbangan penting. Nah, di tengah tren kenaikan suku bunga global, manakah yang lebih menarik?
Bank Indonesia disinyalir akan turut mengerek suku bunga acuan pada tahun ini. Budi Frensidy, ekonom sekaligus pakar keuangan dan pasar modal, memperkirakan ada kenaikan bunga acuan BI antara 50 basis poin-75 basis poin pada 2022. Tahun depan, kenaikan masih mungkin berlanjut.
Dengan potensi kenaikan itu, Budi menilai instrumen SBR011 punya nilai plus, karena menawarkan tingkat bunga mengambang mengikuti BI-7 day repo rate. Jika kelak bunga acuan naik, maka imbal hasil kupon yang diterima investor juga akan di atas kupon minimal.
Sebaliknya, ketika bunga turun, pemegang SBR011 akan tetap menikmati bunga minimal 5,5%.
Dengan begitu, Budi bilang, investasi pada SBR011 jelas lebih menguntungkan ketimbang menempatkan dana pada produk sejenis deposito. “Meskipun bunga deposito sama-sama ikut naik, tapi, akan tetap di bawah suku bunga BI,” papar dia.
Mohamad Andoko, perencana keuangan dari Oneshildt Financial Planning, mengamini bahwa dibandingkan dengan sesama instrumen jangka pendek seperti deposito, instrumen SBR011 bisa jadi pilihan yang menarik. Alasannya, obligasi ritel ini telah mengantisipasi risiko suku bunga dengan adanya floating rate.
Dalam dua tahun ke depan, kata dia, tingkat inflasi cenderung akan meningkat, sehingga peluang kenaikan bunga BI juga terbuka. Jika itu terjadi, SBR011 akan ikut menikmati.
Di samping itu, obligasi ritel lebih diuntungkan karena perlakukan pajak hanya 10%. Berbeda dengan deposito yang dikutip pajak bunga sebesar 20%. Andoko memerinci, dengan bunga deposito bank BUKU 4 yang hanya di kisaran 2%-3%, dikurangi pajak 20%, maka imbal hasil bersih yang didapat nasabah rentan tergerus inflasi domestik yang di kisaran 3%-4%.
Sedangkan, imbal hasil bersih SBR sedikit di atas tingkat inflasi, karena adanya spread tetap sebesar 200 basis poin dari BI-7 day repo rate.
Memang, ada deposito yang menawarkan bunga lebih tinggi, seperti di BPR atau bank kecil. “Namun, sifatnya high risk, expected high return. Karena ada risiko kebangkrutan atau gagal bayar (default),” ujar Andoko. Di sisi lain, SBR011 sebagai produk besutan negara, maka bisa dibilang bebas risiko gagal bayar.
Takar risiko pasar
Di tengah tren bunga yang cenderung lebih tinggi ke depan, investasi pada SBR011 juga berpeluang lebih menarik ketimbang obligasi berbunga tetap (SUN). Sebab, kata Budi, saat bunga acuan naik, harga obligasi rawan melemah.
Dia memperkirakan, harga pasar SUN masih tertekan dalam enam bulan ke depan, karena inflasi tinggi dan The Fed masih berencana mengerek suku bunganya. Bahkan, tak menutup kemungkinan koreksi harga SUN masih terjadi hingga tahun depan, jika The Fed melanjutkan pengetatan moneter yang agresif.
“Sedangkan, SBR karena tidak diperdagangkan, maka, tidak ada risiko fluktuasi harga,” jelas Budi.
Ramdhan tak menampik masih ada risiko pasar SUN bergejolak, mengingat The Fed masih menargetkan kenaikan bunga bertahap. Hanya, perkiraan dia, kalaupun terpapar sentimen eksternal, gejolak atau penurunan harga SUN sifatnya jangka pendek. Tingkat yield SUN 10 tahun ditaksir bisa bertahan di bawah 8% pada tahun ini.
Alasannya, dana asing yang keluar (capital outflow) dari pasar obligasi sudah sangat besar sejak pandemi 2020. Porsi kepemilikan asing kini hanya sekitar 15%, dibandingkan sebelum pandemi mencapai 40%. Di sisi lain, investor domestik dengan likuiditas yang besar kini jadi penopang.
“Baru-baru ini yang mendorong harga SUN rebound juga berasal dari suntikan modal domestik,” jelas Ramdhan.
Kendati begitu, dia menaksir, agak berat bagi instrumen SUN untuk membukukan return positif tahun ini. Toh, kata Ramdhan, di sepanjang tahun ini, banyak peluang yang bisa dimanfaatkan investor untuk mengoptimalkan kinerja aset. “Kita memang tidak tahu kapan level bottom. Tapi, saat harga turun, kesempatan untuk masuk ke SUN atau melalui reksadana pendapatan tetap,” saran dia.
Dari sisi imbal hasil, kinerja mayoritas reksadana pendapatan tetap memang masih loyo akibat gejolak di pasar obligasi. Namun, kata Andoko, potensi imbal hasil tahunannya masih bisa lebih tinggi maupun rendah dibandingkan dengan kupon SBR011, tergantung kemahiran manajer investasi dalam mengelola dananya.
Menurut pandangan Aryawan Eko, perencana keuangan Mitra Rencana Edukasi, reksadana pendapatan tetap lebih menarik ketimbang SBR011, sebab dapat menghasilkan return tahunan lebih tinggi, apabila dipegang jangka panjang.
Reksadana pendapatan tetap juga lebih menarik karena lebih likuid, bebas ditarik berapa pun dan kapan saja. Berbeda dengan SBR011 yang baru bisa dicairkan separo setelah dipegang selama setahun.
Reksadana juga tidak terkena pajak bunga pendapatan. Tapi, kata Aryawan, kekurangan reksadana yaitu adanya volatilitas harga, akibat dari gejolak pasar obligasi.
Sebagai sesama produk ritel, reksadana pendapatan tetap unggul dari sisi keterjangkauan modal ketimbang SBR011. Sebab, investasi bisa dimulai hanya dengan modal mulai dari Rp 100.000.
Kata Aryawan, SBR011 lebih direkomendasikan bagi investor yang mengutamakan keamanan dana, namun menghasilkan return lebih tinggi daripada bunga deposito. Sedangkan, reksadana pendapatan tetap cocok untuk investor individu yang sedikit lebih paham tentang risiko volatilitas.
Budi menambahkan, SBR011 akan cocok bagi investor yang menghindari risiko (risk averse) dan perlu cash flow secara periodik, serta ingin menjaga keutuhan modal, tapi mampu mengatasi inflasi.
Di sisi lain, SUN dan reksadana pendapatan tetap bisa menjadi pilihan bagi investor yang masih berharap menikmati capital gain (selisih harga jual-beli).
Saran Andoko, memilih instrumen fixed income, sebaiknya menyesuaikan dengan durasi. Obligasi ritel lebih aman untuk durasi pendek. Sedangkan, SUN dan reksadana fixed income lebih maksimal untuk tujuan jangka menengah-panjang. Tapi, durasi yang semakin panjang akan lebih berisiko.
Selamat menimbang aset fixed income yang cocok jadi andalan portofolio Anda.
Sumber : Tabloid Kontan 6 Juni-12 Juni 2022 hal 6,7
Leave a Reply