Indeks Manufaktur Naik, Belum Stabil

JAKARTA. Kinerja manufaktur Indonesia kembali meningkat awal semester II-2022. Peningkatan ini sejalan pemulihan ekonomi Indonesia.

Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari S&P Global, pada Juli 2022, sebesar 51,3, lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan Juni yakni 50,2.

Ekonom Senior S&P Global Market Intelligence Sian Jones menjelaskan, kondisi operasional pada seluruh sektor manufaktur Indonesia menguat selama tiga bulan terakhir hingga Juli 2022. Naiknya kinerja manufaktur pada Juli, terutama didorong kenaikan oleh permintaan baru, terutama dari dalam negeri.

Meskipun di sisi lain, permintaan ekspor baru terus mengalami penurunan. “Kenaikan permintaan klien fokus pada pasar domestik, penjualan asing turun tajam selama hampir satu tahun,” ujar Jones, Senin (1/8).

Sejalan dengan permintaan baru yang menguat, perusahaan manufaktur Indonesia juga menyatakan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Bahkan, pertumbuhan tenaga kerja baru pada Juli 2022 merupakan rekor tertinggi selama 11 tahun survei ini.

Yang menggembirakan untuk produsen adalah tekanan biaya input akan berkurang pada Juli 2022. Biaya produksi memang akan meningkat, namun kenaikannya selama setahun terakhir terpantau melambat. “Risiko kenaikan harga masih tetap ada, karena biaya BBM dan bahan baku terus mendorong inflasi,” tambah Jones.

Secara keseluruhan pelaku usha lebih bersemangat dan optimis karena harapan produksi mereka akan meningkat di tahun depan. Pada saat yang sama, perusahaan manufaktur mencatat tingkat optimisme yang lebih kuat terkait perkiraan output pada tahun depan sejalan dengan harapan harga yang lebih stabil.

Meskipun demikian, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang melihat, kondisi manufaktur ke depan masih fluktuatif. Apalagi perang Rusia dan Ukraina belum berakhir sehingga potensi mengerek harga minyak lagi. Kondisi ini menjadi risiko manufaktur.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, inflasi global dan domestik akan menjadi pemicu penurunan kinerja manfaktur ke depan. Kenaikan harga energi menyebabkan beban perusahaan meningkat. “Ketika harga per unit-nya sudah lebih mahal dari permintaan, akan terjadi perlambatan ekonomi,” katanya (1/8).

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy mengatakan, meski kenaikan harga energi menjadi risiko, namun sejumlah insentif pajak yang diperpanjang pemerintah untuk sektor-sektor lain, masih bisa berdampak positif pada kinerja manufaktur ke depan.

Sumber : Harian Kontan Selasa 02 Agustus 2022 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only