JAKARTA. Penerimaan pajak di semester kedua tahun ini, hanya bisa mengandalkan pemulihan ekonomi. Untuk itu, pemerintah perlu waspada lantaran kondisi perekonomian kembali menghadapi risiko ketidakpastian global.
Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak per akhir Juli 2022 mencapai Rp 1.028,5 triliun. Angka ini tumbuh 58,8% year on year (yoy).
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp 1.485 triliun. Pemerintah optimistis penerimaan pajak bisa melampaui target tersebut dengan outlook Rp 1.924,9 triliun.
Dengan demikian berdasarkan pemerintah masih harus mengumpulkan penerimaan pajak Rp 896,4 triliun. Jika dibuat rerata lima bulan ke depan artinya target penerimaan bulanan sekitar Rp 179,3 triliun saban bulan.
Meski demikian, pertumbuhan penerimaan pajak per bulan, mencatatkan perlambatan. Realisasi penerimaan pajak bulan Juli, hanya tumbuh 61,8% secara tahunan atau yoy. Pertumbuhan penerimaan pajak ini melambat ketimbang realisasi penerimaan pajak pada bulan Juni lalu yang mencapai 80,4% yoy.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, melambatnya pertumbuhan penerimaan pajak pada bulan Juli lantaran periode Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II telah berakhir. Sepanjang paruh pertama tahun ini, program tersebut menyumbang penerimaan pajak hingga Rp 61 triliun.
Andalkan komoditas
Namun memang, penerimaan pajak masih terbantu harga komoditas. Secara kumulatif sejak Januari hingga Juli 2022, windfall profit dari naiknya harga komoditas, mencapai Rp 174,5 triliun. Bahkan keuntungan tersebut lebih tinggi ketimbang periode yang sama pada tahun 2021 sebesar Rp 15,6 triliun. Menkeu memperkirakan, windfall profit harga komoditas terhadap penerimaan pajak sepanjang tahun ini mencapai Rp 279 triliun.
“Di luar itu, kami berharap penerimaan pajak yang didukung pemulihan ekonomi nasional, berjalan cukup baik,” kata Menkeu, Kamis (11/8).
Pengamat Pajak MUC Tax Research Wahyu Nuryanto memperkirakan, harga komoditas masih akan menjadi penopang penerimaan pajak hingga akhir tahun. Menurutnya harga komoditas memasuki fase normalisasi, namun belum seluruhnya.
“Harga komoditas masih tinggi, terutama migas dan gandum imbas konflik Rusia dan Ukraina. Kalaupun sumbangannya melandai, masih akan dominan,” kata Wahyu.
Ia melihat, sumbangan pajak sektor digital juga akan semakin tinggi. Terutama dari pajak pertambahan nilai (PPN) sejalan dengan semakin banyaknya perusahaan yang ditunjuk sebagai pemungut pajak.
Meski begitu, Wahyu bilang Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak seharusnya membenahi administrasi dan pengawasan. Yaitu, memanfaatkan integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hingga pemanfaatan data hasil Automatic Exchange of Information (AEoI) menjadi penerimaan pajak.
Sumber : Harian Kontan Jumat 12 Agustus 2022 hal 2
Leave a Reply