Saat ini banyak generasi muda yang giat tidak hanya sebagai pekerja tapi berwirausaha. Mereka dengan piawai melayani order melalui gawai seusai menyelesaikan pekerjaan formalnya.
Artinya, pagi hari mereka berkantor, sorenya berwirausaha. Saat ini mungkin terdapat ribuan, bahkan mungkin jutaan anak muda lainnya.
Anak muda dengan sebutan generasi milenial. Calon generasi emas pada tahun 2045, yang berada di usia produktif, dan diproyeksikan mendominasi sekitar 60% dari proyeksi jumlah penduduk pada saat itu. Sebagian besar wirausaha kuliner. Ada yang youtuber, content creator, dan aplikator. Apa pun istilahnya. Mereka juga bagian dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang kreatif berinovasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peran pentingnya dalam perekonomian Indonesia. Data BPS menunjukkan jumlah unit usaha UMKM adalah 99,9% dari total unit usaha, menyerap sebesar 97% dari total tenaga kerja, dan berkontribusi 61,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Secara geografis UMKM tersebar di seluruh tanah air, hampir di semua sektor. Multiplier effect-nya tinggi. Merupakan instrumen pemerataan pendapatan. Dan di era digital seperti saat ini, pelaku UMKM dengan mudah dapat menjangkau konsumennya, tak terbatasi jarak atau waktu.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM, penggolongannya dibedakan berdasarkan jumlah aset dan jumlah omzet dalam setahun. Selanjutnya, data BPS mencatat sebanyak 64,6 juta unit merupakan usaha mikro. Atau, jumlahnya setara dengan 98,67% dari total UMKM di seluruh Indonesia. Kriteria usaha mikro adalah memiliki jumlah omzet sampai dengan Rp. 300 juta setahun, serta jumlah aset maksimal Rp. 50 juta setahun.
Lebih lanjut, untuk mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23) mengatur kemudahan pembayaran pajak penghasilan (PPh) bagi wajib pajak (WP) badan dan orang pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar. Tarifnya final 0,5% dari omzet.
Nah, data Direktorat Jenderal Pajak diolah mencatat, ada sebanyak 1,03 juta WP yang melakukan penyetoran pajak sesuai PP 23 pada tahun 2021. Hingga 30 Juni 2022, sebanyak 844.852 WP dengan nominal pembayaran sebesar Rp 1,69 triliun atau tumbuh 11,25% dari semester I-2021.
Selanjutnya, data komposisi WP PP 23 tersebut terdiri dari 135.866 WP badan dan 708.890 WP orang pribadi (WP OP). Dari jumlah WP OP tersebut, sebanyak 577.544 merupakan non karyawan atau wirausaha, dan sebanyak 131.442 sebagai karyawan.
Nah, ada yang perlu dilihat di sini. Usaha mikro adalah kriteria yang memiliki jumlah dominan dalam UMKM. Lalu, kriteria usaha mikro inilah yang identik dengan WP PP 23. Dan, ternyata masih banyak yang belum terdata dalam sistem administrasi perpajakan. Berdasarkan data DJP tersebut, artinya hanya sebesar 1,6% tercatat sebagai WP PP 23/2021.
WP tidak kena pajak
Lantas, apakah kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi NPWP otomatis membuat setiap orang pribadi UMKM harus membayar pajak?
Tidak. Mari kita cermati. Pertama, NIK adalah sarana administrasi kependudukan bagi penduduk. NPWP adalah sarana administrasi perpajakan bagi WP. Artinya, keduanya sama sebagai bukti identitas dalam administrasi. NIK untuk kependudukan. NPWP untuk perpajakan. Makanya dipadankan. Cukup dengan NIK untuk kedua administrasi tersebut.
Kedua, ada persyaratan subjektif dan objektif untuk dikenakan pajak. WP adalah subjek pajak, yang memiliki objek pajak. Jika tidak memiliki objek pajak berupa penghasilan, ya tidak dikenakan pajak. Artinya, tidak semua NIK akan dikenakan pajak.
Dalam literasi perpajakan, kebutuhan untuk menciptakan pajak yang bersifat redistributif mendorong desain kebijakan pajak yang distribusi beban pajaknya (tax burden) ditentukan berdasarkan kemampuan membayar, atau ability to pay (Sandmo, 2015).
Ketiga, ada aturan batas pemajakan. Atau dikenal sebagai threshold. Nah, mari kita kenali yang berhubungan dengan NIK sebagai NPWP dulu. Dalam perpajakan, ada 2 threshold pajak penghasilan (PPh), dan ada 1 threshold pajak pertambahan nilai (PPN).
Pertama, penghasilan tidak kena pajak (PTKP). PTKP pada dasarnya merupakan pengurang penghasilan bagi WP orang pribadi dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak (PKP). Artinya, jika penghasilannya dari menjalankan usaha dengan jumlahnya dibawah PTKP, maka tidak akan dikenakan PPh pasal 25/29. Dan, apabila berstatus sebagai pegawai tidak dilakukan pemotongan PPh pasal 21. Berlaku juga untuk anak muda yang karyawan dan wirausaha tersebut.
PTKP atau personal exemptions, adalah konsekuensi logis dari biaya tidak terhindarkan (nondiscretionary) membesarkan anak, dan upaya memberikan keringanan bagi yang berpenghasilan rendah (Rosen, 2005).
Batasannya adalah Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Dan ditambah jumlah PTKPnya apabila status kawin, dan ditambah sesuai jumlah anak atau tanggungannya, maksimal 3. PTKP ini ditentukan berdasarkan keadaan pada 1 Januari dari tahun pajak yang bersangkutan.
Kedua, WP PP 23 orang pribadi, bukan yang berbentuk badan. Diberikan batas tidak dikenai PPh atas omzet sampai dengan Rp 500 juta. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ketiga, orang pribadi kriteria pengusaha kecil, yaitu omzetnya tidak melebihi Rp 4,8 miliar tidak dikenakan PPN. Sebab, biaya administrasi dan kepatuhan dalam pemungutan pajak dari pengusaha kecil lebih besar dari penerimaan pajaknya (Gale, 2016), sehingga perlu faktor sebagai batasan minimum (Bird, 2005). Namun, ketentuan bagi pengusaha kecil ini bersifat pilihan atau opsional, karena diperkenankan jika memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Jadi, memiliki NIK sebagai NPWP dalam kelompok batasan tersebut tidak kena pajak. Ini bentuk keberpihakan pemerintah terhadap UMKM, sekaligus untuk mendorong masyarakat, khususnya generasi muda untuk berwirausaha, serta berperan aktif dalam kegiatan ekonomi.
Sumber : Harian Kontan Selasa 16 Agustus 2022 hal 15
Leave a Reply