Pemerintah memperkirakan pergeseran pola konsumsi menjadi berbasis digital terus berlanjut pada tahun 2023.
Diungkap dalam buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2023, tren digitalisasi ini berefek positif pada efisiensi perekonomian.
Namun di sisi lain, tren ini dipandang dapat meningkatkan shadow economy. Tingginya aktivitas ekonomi yang tidak terdaftar atau terdeteksi tersebut menimbulkan hambatan bagi Pemerintah untuk menggali potensi penerimaan perpajakan.
“Hal tersebut meningkatkan risiko kehilangan basis pajak atau Wajib Pajak (WP) terutama dari PPh dan PPN,” ungkap pemerintah dalam buku Nota Keuangan dikutip CNBC Indonesia, Jumat (19/8/2022).
Walaupun saat ini Pemerintah telah menerapkan kewajiban Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atas transaksi elektronik, perkembangan digitalisasi yang cepat terutama setelah pandemi Covid-19 perlu diantisipasi.
Pemerintah perlu mengoptimalkan kebijakan tersebut dengan melakukan penunjukan kepada WP yang melakukan transaksi elektronik menjadi pemungut PPN PMSE sekaligus diimbangi dengan perbaikan regulasi dan proses bisnis pengawasannya.
Pemungutan PPN PMSE pertama kali dilakukan pada 1 Juli 2020. Paradigma baru ini lahir dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Adapun, tata cara pemungutan PPN PMSE diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022.
Kemudian, tarif yang dikenakan ditetapkan sebesar 11 persen. Dari data Kemenkeu, hasil pungutan PPN PMSE dari Januari hingga Juli 2022 telah mencapai Rp3,02 triliun. Sementara jika dihitung sejak Juli 2020, pemerintah telah berhasil mengantongi Rp 7,65 triliun dari PPN PMSE ini.
Pemerintah memperkirakan pendapatan negara tahun 2023 sebesar Rp2.443,6 triliun yang terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp2.016,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp426,3 triliun.
Khusus penerimaan pajak, ini merupakan kali pertama sepanjang sejarah penerimaan perpajakan di atas Rp 2.000 triliun. Tahun ini, pemerintah mematok target penerimaan sebesar Rp 1.924,9 triliun. Dengan demikian, penerimaan pajak tahun depan diproyeksi tumbuh 4,8%.
Adapun arah kebijakan pajak ke depan yaitu:
1. Melanjutkan tren peningkatan pajak dengan menjaga efektivitas implementasi UU HPP.
2. Melakukan penggalian potensi dengan ekstensifikasi dan intensifikasi untuk penguatan basis pemajakan dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.
3. Memberikan insentif fiskal pada kegiatan ekonomi strategis yang mempunyai multiplier effect yang kuat bagi perekonomian.
4. Melaksanakan optimalisasi perpajakan melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum.
5. Upaya meningkatkan penerimaan perpajakan dilakukan dengan tetap memerhatikan daya beli masyarakat.
6. Memastikan pencapaian target penerimaan perpajakan dilakukan secara cermat dan hati-hati agar konsolidasi fiskal dengan defisit APBN maksimal 3 persen terhadap PDB pada tahun 2023 dapat berjalan dengan baik.
Untuk mendukung implementasi kebijakan dimaksud, dukungan kebijakan teknis pajak, yaitu:
1. Optimalisasi perluasan basis pemajakan.
2. Penguatan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan.
3. Percepatan reformasi bidang SDM, organisasi, proses bisnis, dan regulasi.
4. Insentif fiskal yang terarah dan terukur.
Sumber : cnbcindonesia.com
Leave a Reply