Relatif Konservatif, Target Perpajakan 2023 Tumbuh 4,8%


JAKARTA, Kementerian Keuangan (kemenkeu) mengungkapkan pertumbuhan penerimaan perpajakan tahun depan sebesar 4,8% dibandingkan outlook tahun ini Rp 1.924,9 triliun. Peningkatan ini menunjukkan bahwa tren penerimaan perpajakan telah kembali pada level pra pandemi seiring pemulihan ekonomi, tingginya harga komoditas serta reformasi perpajakn yang mendorong peningkatan penerimaan perpajakan.

“Pertumbuhan target penerimaan perpajakan tahun depan relatif konservatif sebab pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 dan 2022 akan ternormalisasi dengan ancaman terjadinya resesi global, inflasi yang tinggi hingga kenaikan suku bunga acuan di berbagai negara,” ucap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI, Senin (5/9/2022).

Sebagaimana diketahui, target perpajakan di tahun depan sebesar Rp 2.016,9 triliun merupakan yang pertama kalinya diatas Rp 2.000 triliun. Dengan rincian penerimaan pajak Rp 1.715,1 triliun dan penerimaan bea dan cukai mencapai Rp 301,8 triliun.

Dalam paparannya, tren penerimaan pajak dalam RAPBN 2023 akan disokong oleh dampak positif dari harga komoditas dan implementasi program pengungkapan sukarela (PPS) yang telah berakhir sejak 30 Juni lalu.

Lebih lanjut, Menkeu mengatakan penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan fluktuasi harga komoditas. Namun pada saat yang sama DJP akan terus meningkatkan upaya optimalisasi penerimaan melalui pengawasan pembiayaan masa dan pengujian kepatuhan serta melanjutkan reformasi perpajakan.

“Penerimaan pajak tentu kita akan upayakan relatif lebih stabil. Penerimaan pajak akan mengikuti siklus ekonomi, jika menggunakan instrumen pure pajak maka jadi procycle. Ketika ekonomi meningkat (boom) dapat banyak  dapat (penerimaan) banyak, namun disaat ekonomi turun maka (penerimaan) juga akan turun,” ungkapnya. 

Menurutnya, disaat instrumen fiskal harus melakukan countercyclical maka penerimaan pajak menjadi naik turun yang berdasarkan kegiatan ekonomi. Sehingga ini harus terus dinetralisir melalui instrumen lain yakni pembiayaan.

“Tetapi melalui reformasi, kita berharap baseline dari penerimaan pajak harusnya relatif makin luas dan kuat tidak bergantung pada event atau shock yang sifatnya bisa mempengaruhi keseluruhan. Kami akan terus lakukan berbagai reformasi  dengan perbaikan regulasi, pelaksanaan UU HPP dan data yang kami miliki lebih lengkap baik Tax Amnesty I, PPS dan automatic exchange of information,” jelas Menkeu.

Dengan tren penerimaan pajak kurun waktu 2019-2023 yang meningkat, namun disisi lain tax ratio justru mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa program yang menjadikan baseline sehingga tidak dapat dijadikan komparasi seperti adanya PPS, dan faktor komoditas.

“Harga komoditas, kita lihat kontribusinya cukup dominan yakni  mendekati 20% kontribusi  terhadap  total penerimaan dari pajak bisa mempengaruhi tax rasio dengan boom atau bust,” papar Menkeu.

Sementara itu, penerimaan bea dan cukai tahun depan sebagai unsur perpajakan, sisi cukai akan mengalami kenaikan berdasarkan  kebijakan cukai hasil tembakau.

“Setiap kali berbicara CHT dihadapkan pada multiple objektif sehingga tidak pure penerimaan, namun ada aspek kesehatan, tenaga kerja dan sisi penegakan (enforcement). Semakin tinggi cukai maka penegakan akan semakin menantang sebab orang akan cenderung buat cukai illegal,” tegasnya.

Sementara sisi bea masuk, diproyeksi akan terus mengalami pemulihan setelah terdampak akibat pandemi Covid-19. Kemudian sisi bea keluar hingga saat ini pergerakannya masih didominasi oleh kenaikan harga komoditas.

“Dampak komoditas luar biasa, dari bea keluar hanya Rp 4,3 triliun di tahun 2020 bisa melonjak lebih dari 10 kali lipat hanya dalam waktu setahun. Ini sebabkan penerimaan perpajakan alami swing yang kadang-kadang sangat enggak bisa diprediksi sebab boom, dari komoditas dipengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi  dunia dan geopolitik,” kata Menkeu. 

Lebih lanjut Menkeu menambahkan, kondisi geopolitik Perang Rusia – Ukraina menggunakan komoditas pangan dan energi menjadi alat perang. Hal ini dinilainya semakin sulit bagi pemerintah untuk memprediksi arah pergerakan harga barang atau komoditas  yang turut mempengaruhi kondisi global.

“Ini jadi gambaran betapa kami coba buat APBN 2023 sisi proyeksi konservatif untuk dalam rangka untuk jaga terus kebutuhan danai pembangunan dan saat yang sama fleksibel saat ada boom atau  kita tidak dalam  situasi melonjak atau meledak atau pingsan pada saat bust ini sistausi jadi tantangan pengelolaan negara.  Sebagai bendahara  negara itu yang terus kami perbaiki cara berorganisasi,  internal, reformasi terus kami lakukan yakni sinergi antar unit karena kami tau keuangan negara jadi instrumen sangat diandalkan dan penting hadapi gejolak ini,” tutupnya.

Sumber: Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only