Pajak E-Commerce Diterapkan ke Semua

Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan berencana menunjuk platform e-commerce lokal sebagai pemungut pajak. Rencana ini masih dalam tahap evaluasi lantaram pemerintah baru saja melakukan uji coba dengan menunjuk platform marketplace pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai pemungut pajak.

Rencana tersebut adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik. Harapannya, ketika platform e-commerce berlaku sebagai pemungut pajak, maka pelaku usaha di dalam ekosistem ini tidak lagi pusing masalah pajak.

Tapi, pemerintah perlu mematangkan betul rencana itu. Soalnya, ada resiko penunjukan platform e-commerce sebagai pemungut pajak membuat pedagang yang berada dalam ekosistem tersebut akan hengkang ke media sosial. Apalagi, saat ini banyak pelaku UMKM yang memilih berdagang menggunakan media sosial ketibang platform e-commerce.

Dara Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan, sebanyak 53% pedagang menggunakan media sosial, hanya 21% yang memanfaatkan platform e-commerce.

Sejauh ini,pemerintah belum memerinci jenis pajak apa yang akan dipungut melalui platform e-commerce, apakah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh)?

Hanya, kabar yang berembus, pungutan pajak e-commerce bakal memiliki kriteria. Misalnya, membidik PMSE dengan angka penjualan diatas Rp 600 juta setahun atau Rp 50 juta per bulan atau dengan tingkat kunjungan atau traffic 12.000 per tahun.

Untuk membahas rencana itu, wartawan Tabloid Kontan Andy Dwijayanto mewawancarai Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga, Rabu (12/10) melalui sambunan telepon.

Berikut nukilannya:

KONTAN: Bagaimana tanggapan idEA dengan rencana pemerintah yang akan menjadikan e-commerce sebagai pemungut pajak?

BIMA: Kami berharap, kami dilibatkan untuk pembahasan mengenai aturan itu, apakah nanti bentuknya PMK atau Perdirjen. Karena, saat ini kami belum diajak bicara oleh pemerintah.

Pelibatan kami ini sangat penting, karena bentuk aturan ini akan menjadi payung hukum kami, yang nantinya akan mengatur bagaimana mekanisme pemungutan pajak yang akan kami lakukan.

Seperti yang sudah-sudah, biasanya kami akan diajak bicara mengenai rencana tersebut. Harapannya sih, lewat diskusi itu nanti kami akan lebih siap dari sisi infrastruktur, agar mendukung rencana itu.

KONTAN: Apakah kelak akan perlu infrastruktur tambahan atau malah investasi baru untuk bisa melakukan pemungtan pajak itu?

BIMA: Apakah kami akan butuh infrastruktur tambahan, ya, kembali lagi, sejauh kami belum tahu bentuk PMK-nya, kami tidak tahu seberapa besar kebutuhan infrastruktur yang harus kami persiapkan untuk dapat memenuhi aturan itu.

Investasinya juga, kan , nanti diukur dari aturan itu, apakah infrastruktur yang ada sudah cukup, atau kami butuh infrastruktur tambahan. Ini tentunya akan berimbas pada investasi yang diperlukan.

KONTAN: berkaca pada layanan pajak di e-commerce yang sudah berjalan, cukup sulit kah mekanismenya?

BIMA: Sekali lagi, kami belum bisa menjawabnya, karena kami belum tahu nanti pajak apa yang akan diterapkan. Apakah PPN atau PPh, kami juga belum tahu detail seperti apa.

Kalau terkait dengan pembayaran pajak melalui e-commerce, seperti Simpolnas dan lainnya, itu, kan, tingkat kesulitannya relative mudah, karena kami hanya sisi pembayarannya saja. Pengguna memilih layanan pajak kemudian melakukan pembayaran melalui platform kami.

Kalau untuk pemungutan pajak ini, pastinya akan berbeda. Nah, kami tidak tahum nih, dengan rencana aturan ini, kewenangan seperti apa yang dilimpahkan ke kami. Jadi, untuk bicara itu kita harus tahu dulu pajak seperti apa yang akan ditarik dan mekanismenya.

KONTAN: Ada kemungkinan dengan pemungutan pajak ini jumlah pedagang di e-commerce berkurang dan berpindah ke media sosial?

BIMA: kalau soal shifting, tentu kami inginnya penerapan pajak tersebut diterapkan ke semua, jadi ewual playing field. Kalau  di e-commerce ada punggutan pajak, ya, bagaimana caranya Ditjen Pajak juga bisa melacak semua kegiatan perdagangan yang ada di media sosial. Karena, kan, termasuk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) juga.

Jadi, ini yang harus kita dorong dan lakukan bersama-sama. Kalau hanya satu yang dikenakan sedangkan yang lai ntidak dikenakan, ya, pasti pedagang menghindari platform yang kena pajak. Sementara, kalau levelnya sama, tentunya, kan, tidak akan terjadi shifting tersebut.

Padahal, nilai transaksi digital tahun 2021 diestimasi mencapai US$ 70 miliar, terbesar dari e-commerce, Misalnya, setiap tanggal 12.12, biasanya ada Harbolnas.ideEa tiga tahun terakhir menjadi penyelenggara, kenaikan Harbolnas dari tahun 2019 sampai tahun 2021 mencapai 99% yang awalnya transaksi hanya Rp 6,8 triliun di tahun 2019m di tahun 2021 mencapai Rp 18,1 triliun dalam sehari, itu all product. Harapannya, industri e-commerce terus bertumbuh.

KONTAN: Kalau nanti ada pembahasan bersama dengan pemerintah, idealnya seperti apa pungutan pajak yang bisa e-commerce lakukan?

BIMA: Kami belum mengtahui nantinya apakah akan pungut PPn atau PPh dan lainnnya, sepanjang belum diundangkan mengenai PMK, ya, belum dapat bicara banyak.

Tetapi, memang di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ada keterlibatan pihak ketiga dalam memungut pajak. Dan, ini sudah dijalankan untuk transaksi dari luar negeri, memang ada yang khusus memungut pajak tersebut.

Sesuai PMK Nomor 60 Tahun 2022 yang merupakan turunan dari UU HPP, perusahaan penye-lenggara PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib memungut PPn dengan tarif 11% atas produk luar negeri yang dijual di Indonesia. Pajak ini wajib dipungut perusahaan penye-lenggaraan PMSE yang memiliki transaksi melebihi Rp 600 juta setahun atau Rp 50 juta perbulan.

Nah, untuk industri di dalam negeri, kami belum tahu bagaimana mekanismenya. Makanya, kami berhatap dilihatkan untuk berbicara kalau mekanismenya sudah ketahuan, jangka waktunya telah disahkan dan besaran yang bergantung pada wajib pajak, apakah mereka ini masuk kategori pengusaha kena pajak (PKP) atau non-PKP.

Tentu saja, yang terakhir kami akan persiapkan infra-strukturnya, jangan sampai ketika terkoneksi ke sistem karena hit-nya terlalu banyak jadi tidak berfungsi. Jadi, semuanya harus siap dulu. Nah, kesiapannya diukur dari bagaimana bentuk payung hukumnya.

KONTAN: Selama ini, pedagang di e-commerce bayar pajak atau tidak?

BIMA: Mekanisme perpajakannya memang berjalan seperti biasa saja. Kalau sudah PKP, ya, tentu membayar pajak, kalau non-PKP, mereka self assessment. Sosialisasi pungutan pajak ini jadi tanggungjawab bersama untuk masyarakat.

Bukan hanya e-commerce tetapi semuanya juga harus sosialisasi, karena stigmanya orang jualan di online, kan, tidak kena pajak sehingga barangnya bisa lebih murah.

Jadi, penjual di online juga bayar pajak. Itu hanya stigma saja kalau penjual online tidak bayar pajak, kenyataanya mereka bayar pajak, bisa melalui self assesemnet. Misalnya, penjualan non-PKP, ya, dia melakukan pembayaran 0,5% sesuai dengan pajak UMKM, dan itu dilaporkan sendiri waktu pengisian SPT Tahunan.

KONTAN: Apa yang paling perlu dipersiap-kan seandainya rencana pungutan pajak tersebut terealisasi?

BIMA:Tentunya, kesiapan dari pemerintahnya seperti apa dan juga bagaimana aturan ini melibatkan pemangku kepentingan yang di dalamnya, termasuk industri e-commerce.

Sejauh ini, kami telah dan akan terus menjadi mitra pemerintah untuk bermacam hal. Kami dilibatkan dalam diskusi UU Bea Materai, UU HPP, dan mudah-mudahan untuk aturan pungutan pajak e-commerce, kami juga dilibatkan.

Yang jelas, kami akan memberikan masukan-masukan, agar program ini bisa berjalan baik ke depan. Sebagai mitra pemerintah, kami pasti akan mendukung program itu.

KONTAN: Kebijakan perpajakan seperti apa yang pelaku e-commerce harapkan?

BIMA: Tentunya, yang menciptakan prinsip keadilan melalui kesetaraan berusaha serta kompetisi yang sehat antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha digital.

Kebijakan pajak juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e-commerce nasional, termasuk bagi pelaku UMKM yang memanfaatkan platform marketplace untuk memperluas bisnis mereka.

Kami berharap, kebijakan ini tidak dilakukan secara mendadak karena kami perlu waktu untuk melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha. Kami harap, pemerintah bersama-sama dengan kami melakukan edukasi dan sosialisasi terlebih dahulu, baru setelah itu bisa diimplementasikan.

Sumber: Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only