Setelah Program Pengungkapan Sukarela

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) telah berakhir pada 30 Juni 2022. Capaian dari PPS lumayan baik, dengan jumlah peserta yang mengikuti program ini sebanyak 247.918. Kemudian total pajak penghasilan yang didapat atas program PPS Rp 61,01 triliun, dengan total harta bersih yang diungkapkan sebesar Rp 594,82 triliun.

Dengan perincian harta bersih yang diungkapkan dari dalam negeri sebesar Rp 498,88 triliun, repatriasi senilai Rp 13,70 triliun, deklarasi luar negeri Rp 59,1 triliun, dan harta bersih dengan komitmen investasi Rp 22,34 triliun.

Hasil PPS tersebut cukup baik. Memang jika disandingkan dengan hasil program pengampunan pajak (tax amnesty) di tahun 2016, PPS menjadi tidak sebanding. Pencapaian dari program pengampunan pajak tahun 2016 total PPh yang didapat Rp 114,55 triliun dengan peserta 971.400.

Perbedaan ini mungkin disebabkan karena banyak faktor. Salah satunya faktor ekonomi makro yang masih kurang baik, karena di tahun 2020 dan 2021 di dera pandemi Covid 19.

Sejatinya, program PPS untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Peneliti perpajakan terus menerus melakukan analisis sehubungan dengan kondisi yang akan terjadi di masa yang akan datang, khususnya pasca PPS. Misalnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan meningkatkan kegiatan pengawasan untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak.

Semua data yang disampaikan pada saat PPS dan data dari pihak lain (luar dan dalam negeri) akan menjadi basis data DJP. Dengan data tersebut dapat membantu DJP melihat potensi wajib pajak pasca PPS.

Ini sudah disiapkan sebelumnya oleh DJP dengan diterbitkan Surat Edaran (SE) 05/PJ/2022 tentang pengawasan kepatuhan wajib pajak, yang mengatur proses bisnis pengawasan kepatuhan wajib pajak dengan menggunakan pendekatan end-to-end. Pengawasan ini terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut, serta pemantauan dan evaluasi pengawasan, untuk memberikan suatu pendekatan yang komprehensif dalam rangka mewujudkan kepatuhan wajib pajak yang berkelanjutan atas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,

Serta untuk mendukung tercapainya penerimaan pajak yang optimal. Surat Edaran ini memang memberikan arahan kepada fiskus untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap wajib pajak pasca PPS.

Nilai tambah

Secara komprehensif, dampak PPS dapat memberikan nilai tambah terhadap instrumen investasi keuangan, karena diharapkan uang tunai yang diungkapkan dalam PPS senilai Rp 263,15 triliun juga setara kas lainnya yang diungkapkan dalam PPS senilai Rp 75,43 triliun, dapat dialihkan pada investasi reksadana, saham dan obligasi.

Sehingga, dana tersebut dapat ikut serta membantu menggerakkan roda perekonomian nasional. Dana tersebut secara tidak langsung akan menggairahkan pasar modal dan pasar uang Indonesia, sehingga valuasi dari perusahaan-perusahaan akan meningkat dan akan ikut mendongkrak naik harga saham.

Dampak ini memberikan harapan yang positif dalam perekonomian nasional. Dana dari penerimaan pajak akan membuat inflasi terkendali dan ditambah dengan mata uang rupiah yang stabil akan menjadi bahan bakar bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga.

Teori ekonomi menjelaskan, ketika suku bunga rendah, akan mempengaruhi meningkatnya nilai obligasi. Memang sukar menghitung tingkat keberhasilan PPS yang mirip dengan pengampunan pajak atau tax amnesty akan berdampak langsung terhadap kinerja investasi, karena setiap investasi memiliki risiko yang kadang sulit diestimasikan.

Tapi yang pasti, PPS menstimulus sektor properti. Mengapa? Karena ketika PPS diikuti wajib pajak, maka harta wajib pajak yang dimunculkan atau diungkapkan dalam PPS menjadi dana cadangan bagi wajib pajak untuk membeli properti di kemudian hari.

Sehingga, properti akan menggeliat dan permintaan akan properti cenderung mengalami kenaikan dari sebelumnya terjadi penurunan akibat pandemi Covid 19. Reaksi ini memang yang diharapkan untuk membuat sektor properti menjadi memanas kembali.

Nilai tanah dan bangunan yang diungkap wajib pajak di PPS senilai Rp 26,35 triliun juga dapat yang diperjual-belikan, dan ini akan menggairahkan sektor properti. Bersanding lurus dengan hal itu, penerimaan pajak properti akan mengalir masuk ke pundi negara. Dari pajak penjualan properti, pihak penjual dikenakan 2,5% dikali nilai penjualan, dan dari sisi pembeli kena 5%dari nilai pembelian.

Tercapainya target Setelah PPS di tahun 2022, target penerimaan pajak di dalam UU APBN 2022 mencapai Rp 1.265 triliun. Kemudian melalui Perpres 98/2022, pemerintah merevisi penerimaan pajak menjadi Rp 1.485, naik 16,1% dari target yang sudah dicanangkan.

Bagaimana dengan target tersebut, apakah masuk akal? Para ekonom menilai, bahwa target tersebut masuk akal karena tahun 2021 di tengah pandemi yang masih berlanjut, penerimaan pajak mencapai 100,9% dari target yang dipatok. Sementara tahun ini pandemi sudah mengalami penurunan dan ekonomi nasional mulai naik.

Selain itu, tarif PPN juga naik dari 10% menjadi 11% yang berlaku per 1 April 2022. Tentunya hal ini juga akan menyumbang kepada penerimaan negara secara signifikan. Sependapat dengan hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkeyakinan bahwa penerimaan pajak 2022 bisa mencapai target.

Penyebabnya tidak terlepas dari kondisi perekonomian domestik yang sudah berada dalam jalur pemulihan dan ekonomi mulai berputar. Saat ini, harga komoditi naik, sehingga penerimaan pajak juga terdorong naik. Kita mengetahui, harga komoditi mengalami kenaikan yang cukup bagus. Data Bloomberg 2021 menjelaskan, beberapa harga komoditas unggulan Indonesia terus menunjukan tren kenaikan. Kalkulasi year to date (ytd), harga batubara telah naik 180%, timah tumbuh 130%, CPO naik 11,4% dan nikel naik 31,6%.

Pada tahun 2022, data menunjukkan harga nikel pada Agustus 2022 tercatat sedikit lebih tinggi 15,23% (year-on-year). Kemudian minyak mentah tercatat meningkat 39,36% year-on-year jika dibandingkan pada Agustus 2021 yang sebesar US$ 68,9 per barel.

Batubara masih menunjukkan tren peningkatan, di mana dibandingkan dengan tahun lalu batubara lebih tinggi 110,30%. Sehingga, tahun 2022 dapat dikatakan penerimaan pajak akan mencapai target yang dicanangkan. Penelitian yang dilakukan oleh Wu, at all ( 2006) dari UCLA, yang menganalisis dampak penggenaan pajak terhadap distribusi pendapatan dan kesejahteraan di Amerika. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa tingkat pajak marjinal dapat berpengaruh positif pada tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pada dasarnya, semua kebijakan pemerintah akan bermuara untuk kesejahteraan rakyat secara masif. Harapannya, kebijakan perpajakan juga tetap ramah bisnis dan pro rakyat.

Sumber : Harian Kontan Kamis 20 Okober 2022 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only