Kementerian Keuangan (Kemenkeu) siap menghadapi gugatan uji materi atau (judicial review) soal aturan pajak hiburan menjadi 40 persen hingga 75 persen di Mahkamah Konstitusi (MK).
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengatakan pihaknya tak akan mangkir dalam sidang perdana di MK nanti terkait UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Ketentuan itu digugat Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) dkk yang keberatan spa dikelompokkan sebagai hiburan sejenis diskotek hingga kelab malam.
“Di UU Nomor 28 (aturan sebelumnya yakni UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), mandi uap atau spa sudah tersebut dalam kategori tersebut. Namun, pemerintah, khususnya Kemenkeu, sudah menerima judicial review terkait mandi uap/spa ini,” ucap Lydia dalam The Weekly Brief with Sandi Uno di Kemenparekraf, Jakarta Pusat, Senin (22/1).
“Maka, kami hormati hak semua warga negara dan proses hukum. Tentu Kementerian Keuangan akan hadir dalam proses hukum tersebut (di MK) dan memberikan penjelasan yang diperlukan,” tegasnya.
Terlepas dari itu, Lydia menekankan pihaknya dalam merumuskan UU HKPD yang kini menjadi perdebatan, sudah melibatkan banyak pihak. Ada pemerintah, DPR, akademisi, hingga sejumlah asosiasi terkait.
Bahkan, ia menegaskan perumusan beleid tersebut juga mempertimbangkan kemajemukan masyarakat. Lydia menyebut UU HKPD punya dua roh utama untuk kepada kepala daerah. Pertama, menentukan tarif. Kedua, kewenangan untuk memberikan insentif fiskal berupa pengurangan, keringanan, penghapusan, pengecualian.
“Salah satu contohnya di Kabupaten Badung (Bali). Kami sudah koordinasi, mereka sudah lakukan kajian dengan surat edaran menteri dalam negeri dan selanjutnya akan terapkan di peraturan kepala daerah (insentif untuk pajak hiburan),” jelasnya.
“Sambil menunggu judicial review, kepala daerah boleh menetapkan perkada pengurangan, keringanan, penghapusan lebih dahulu, silakan. Maknai SE mendagri itu dengan sebaik-baiknya dengan tetap menjaga tata kelola,” tutup Lydia.
Setelah ramai-ramai pajak hiburan kelompok diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa naik jadi 40 persen-75 persen, Presiden Joko Widodo mengumpulkan para menterinya di Istana Negara pada Jumat (19/1). Setelah itu, terbit surat edaran dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait insentif fiskal.
Itu adalah SE Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.13.1/403/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Jasa Kesenian dan Hiburan Tertentu Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD. SE ini memperkuat desakan pengusaha agar pemda tak mengerek tarif pajak hiburan.
Mengacu pada Pasal 101 UU HKPD, pemda bisa memberikan insentif fiskal untuk mengatasi gejolak penolakan pajak hiburan tersebut. Ada pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.
Terpisah, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan insentif fiskal itu ditetapkan melalui perkada dengan memberitahukan kepada DPRD. Menurutnya, keringanan yang diatur di Pasal 101 UU HKPD membuat bupati atau wali kota bisa mematok tarif lebih rendah dari 75 persen, bahkan di bawah batas minimal 40 persen.
“Penerapan insentif fiskal dilaksanakan sesuai karakteristik wilayah, dengan pertimbangan budaya dan penerapan syariat Islam (seperti di Aceh). Sehingga beberapa daerah tetap dapat meneruskan tarif pajak yang ada, sedangkan daerah berbasiskan pariwisata dapat menetapkan tarif sebagaimana tarif pajak sebelumnya,” ucap Airlangga dalam keterangan resmi, Sabtu (20/1).
Sumber: cnnindonesia.com
Leave a Reply