Wajib Pajak Nakal Tak Bisa Lagi Berkelit

Pemerintah akan memberlakukan penuh integrasi NIK dan NPWP mulai 1 Juli 2024

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan menerapkan secara penuh pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada 1 Juli 2024 mendatang. Melalui kebijakan ini, pemerintah berupaya menutup kebocoran yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak.

Adapun kebijakan implementasi NIK menjadi NPWP telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PMK Nomor 112/PMK.03/2022 tentang NPWP Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.

Sejalan dengan kebijakan tersebut, otoritas menerbitkan Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor PENG-6/PJ.09/2024 yang diteken Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti pada 13 Februari 2024.

“Kebijakan ini ditujukan untuk memberikan kemudahan dan pelayanan yang lebih baik kepada seluruh masyarakat,” kata Dwi kepada KONTAN, Kamis (15/2).

Sebelumnya, dalam pemotongan pajak, wajib pajak yang belum memiliki NPWP dapat dikenakan tarif lebih tinggi. Untuk wajib pajak orang pribadi yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar 20% lebih tinggi atau PPh Pasal 22 sebesar 100% lebih tinggi dari tarif untuk wajib pajak yang memiliki NPWP.

Nah, lewat pengumuman tersebut, Ditjen Pajak menegaskan bahwa sepanjang NIK penerima penghasilan telah valid dan terintegrasi dengan sistem Ditjen Pajak, maka tarif lebih tinggi tersebut tak lagi berlaku meski wajib pajak! tak memiliki NPWP.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono berpendapat, tarif PPh 21 yang sebesar 20% lebih tinggi sebenarnya masih berlaku lantaran sudah diatur dalam Pasal 21 ayat (5a) UU PPh. Hanya saja, dalam praktiknya, aturan tersebut akan dinonaktifkan sepanjang NIK sudah valid dengan NPWP.

Prianto mengatakan, tujuan dilakukannya kebijakan tersebut adalah agar transaksi underground economy oleh orang pribadi dapat langsung diawasi oleh Ditjen Pajak. Раsalnya, pemotong PPh 21 harus membuat bukti potong PPh 21. Nah, bukti potong tersebut tidak dapat dibuat tanpa ada informasi NPWP.

Oleh karena itu, NIK sebagai pengganti informasi NPWP sehingga Ditjen Pajak dapat langsung mengetahui apakah pemilik NIK tersebut telah memenuhi syarat memiliki NPWP atau belum.

“Jadi kebijakan ini memang bertujuan untuk menutup celah individual tax avoidance (penghindaran pajak individu) yang dilakukan oleh orang pribadi tanpa menyertakan NPWP,” ujar Prianto kepada KONTAN, Kamis (15/2).

Dampak ke penerimaan

Namun, Konsultan Pajak PT Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menilai, penerapan ketentuan tersebut akan berdampak keраda penurunan PPh. Khususnya PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23. “Tetapi saya yakin penurunannya tidak signifikan,” kata Raden kepada KONTAN.

Sebab, umumnya pegawai tetap yang menjadi tumpuan penerimaan PPh Pasal 21 selama ini, telah memiliki NPWP. Sementara penerimaan PPh Pasal 21 yang menggunakan tarif 20% lebih tinggi bagi yang tidak memiliki NPWP, lebih banyak berasal dari bukan pegawai.

Sebaliknya, Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, penerapan NIK menjadi NPWP akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan pajak. Sebab, pada akhirnya kebijakan tersebut bisa menutup celah penghidaran pajak.

“Justru dengan adanya penyatuan NIK dan NPWP, maka celah penghindaran pajak semakin tertutup. Dengan begitu, seharusnya dampak ke penerimaan akan positif,” kata Fajry, kemarin.

Sumber: Harian Kontan Jumat 16 Februari 2024 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only