Pemerintah bisa menghapus pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) bahan pokok sebagai bentuk insentif pada kelompok masyarakat kelas menengah di samping tetap memberikan bantuan sosial (bansos) pada warga miskin.
“Terhadap harga bahan pokok yang mengalami kenaikan signifikan, pemerintah bisa memberikan insentif yang sifatnya untuk jangka waktu tertentu, misalnya menghapus pungutan PPN atas bahan pokok,” kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria saat dihubungi Beritasatu.com, Rabu (28/2/2024).
Dia mengatakan penghapusan PPN bahan pokok bisa dilakukan menjelang perayaaan hari raya keagamaan atau hari besar nasional saja.
Soal kenaikan harga beras, Sofyano berpendapat, pemerintah dapat mengantisipasi dengan memperhatikan peran dan keberadaan pedagang beras. Pemerintah bisa menetapkan harga eceran tertinggi (HET) pada jenis beras tertentu dengan menetapkan formula harga yang mengacu pada besaran harga gabah petani.
“Artinya jika harga gabah petani rata rata di angka Rp 7.000 per kilogram, maka pemerintah bisa memberikan acuan berapa besar persentase harga tambahan untuk HET beras tertentu (beras non-premium),” kata Sofyano.
Mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri mengatakan dampak tekanan ekonomi global dan lambatnya belanja pemerintah terlihat pada konsumsi rumah tangga, khususnya kelompok menengah bawah. Satu hal yang harus diperhatikan secara serius adalah dampak El Nino terhadap kenaikan harga pangan. “Porsi terbesar dari konsumsi orang miskin dan kelas menengah bawah adalah pangan, khususnya beras, kenaikan harga beras akan memukul kelompok rentan,” kata dia.
Dia juga meminta pemerintah memperhatikan nasib kelas menengah. Dia memberikan contoh di Chile. Kinerja ekonomi Chile amat mengesankan. Pendapatan per kapitanya tertinggi di Amerika Latin, pertumbuhan ekonominya tercepat di Amerika Latin, dan tingkat kemiskinan menurun dari 53% (1987) menjadi 6% (2017)—lebih baik dibandingkan Indonesia. Chile memiliki Indeks Pembangunan Manusia terbaik di Amerika Latin.
Dampak dari tekanan ekonomi global dan lambatnya belanja pemerintah mulai terlihat pada konsumsi rumah tangga, khususnya kelompok menengah bawah.
Ironisnya, pada Oktober 2019 terjadi gejolak sosial yang nyaris menimbulkan revolusi. “Ekonom Sebastian Edwards menyebutnya ”The Chilean Paradox”. Mengapa? Salah satu penjelasannya adalah terabaikannya kelas menengah,” kata Chatib.
Sumber: beritasatu.com
Leave a Reply