Jika PPN 12 Persen, Pengusaha Usul Batas PTKP Naik dan Tarif PPh 21 Turun

Perdebatan implementasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen semakin mengemuka mendekati masa transisi pemerintahan baru. Dewan Pembina Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Ajib Hamdani mengusulkan, jika PPN 12 persen jadi ditetapkan, maka pemerintah harus menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21.

“Harapan pengusaha, kalaupun pemerintah menerapkan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025 (berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan/UU HPP), maka harus diikuti dengan memberi insentif lain. Misalnya, opsinya PTKP yang sekarang Rp 54 juta bisa dinaikkan menjadi Rp 100 juta atau menurunkan tarif PPh pasal 21. Karena pada prinsipnya adalah bagaimana objek pajaknya digeser, yang tadinya objek pajak dari PPh, kemudian digeser menjadi PPN,” jelas Ajib kepada Pajak.com usai menjadi panelis di acara Taxcussion 2024 bertajuk Shaping the Future of Indonesian Taxation: Exploring Forward-Thinking Strategies for 2024-2029 di kedai Kopi Djoe, Margonda, Depok (14/7).

Seperti diketahui, besaran PTKP saat ini masih mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak orang pribadi memiliki besaran PTKP Rp 54.000.000 per tahun;
  2. Tambahan untuk Wajib Pajak kawin memiliki besaran PTKP Rp 4.500.000 per bulan;
  3. Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami memiliki besaran PTKP Rp 54.000.000 per tahun; dan
  4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga memiliki besaran PTKP Rp 4.500.000.

Sementara itu, tarif PPh pasal 21 dalam UU HPP adalah sebagai berikut:

  1. Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta (tarif Pajak Penghasilan/PPh final 5 persen;
  2. Penghasilan di atas Rp 60 juta hingga Rp 250 juta (tarif PPh final 15 persen);
  3. Penghasilan di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta (tarif PPh final 25 persen);
  4. Penghasilan di atas Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar (tarif PPh final 30 persen); dan
  5. Penghasilan di atas Rp 5 miliar (tarif PPh final 35 persen).

Ajib menjelaskan, 2 usulan tersebut merupakan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat. Pasalnya, kenaikan PPN berpotensi besar menurunkan daya beli yang bermuara pada melemahnya kinerja Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator pertumbuhan ekonomi nasional.

“Karena faktanya adalah 60 persen PDB kita secara signifikan ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Artinya, ketika kemudian konsumsi rumah tangga sedang mengalami penurunan dan ditambah disinsentif fiskal dengan kenaikan tarif PPN, maka hal ini menjadi tidak bagus atau bersifat kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.

Analisis senada juga diungkapkan oleh Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Haula Rosdiana. Ia mengusulkan agar pemerintah menunda kenaikan PPN menjadi 12 persen untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang kini tengah mengalami penurunan.

“Kebijakan perpajakan ke depan harus searah dan bernapas dengan politik perpajakan transformatif yang mendorong mobilitas masyarakat bawah untuk bisa naik ke level menengah. Kebijakan perpajakan harus mampu mendorong daya beli masyarakat, supaya ekonomi terus bergerak, bukan justru menaikkan PPN di tengah daya beli masyarakat,” jelas Haula.

Ia berpandangan, Badan Penerimaan Negara (BPN) harus hadir untuk memastikan kebijakan perpajakan yang transformatif. Seperti diketahui, pemerintahan baru, Presiden Terpilih dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka berencana mendirikan BPN untuk mengoptimalkan penerimaan negara.

“BPN harus memastikan kebijakan perpajakan bisa tercapai dan negara bisa menjamin bahwa rakyatnya bisa adil, makmur, dan sejahtera,” imbuh Haula.

Analisis Ajib dan Haula pun seirama dengan beberapa penelitian. Pusat Kajian Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merilis data bahwa peningkatan 1 persen tarif PPN di negara berkembang akan berdampak pada penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,32 – 0,51 persen dalam kurun waktu 2 hingga 3 tahun. Sedangkan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan, kenaikan tarif PPN 1 persen dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 0,02 persen.

Sumber : pajak.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only