Kabinet gemuk yang menyongkong pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dipastokan membutuhkan anggaran yang besar untuk menjalani program-program prioritas, selain beban operasional dan belanja rutin di kementrian dan lembaga.
Artinya, dukungan anggrana pendapatan dan belanja negara (APBN) mutlak untuk memuluskan progran yang menjadi janji politik Prabowo, seperti makan bergizi gratis. Hanya saja, program tersebut tentu membebani APBN yang sebagian besar masih mengandalkan penerimaan pajak. Di sisi lain, penerimaan pajak terbilang seret, dengan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah yakni 10,3%.
Di tengah rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di 2025 dan target rasio pajak 23% yang terbilang berat, wacana pengenaan pajak kekayaan terutama menyasar orang super tajir bisa digulirkan kembali. Wacana ini memang tak mudah diterapkan.
Fuad Rahmany, Dirjen Pajak Kemenkeu periode 2011-2014 menilai, pajak kekakyaan untuk prang superkaya bisa enjadi solusi mencari tambahan pendapataan negara ditengah penurunan daya beli kelas menengah.
“Harta bersih orang-orang superkaya ini terus naik tinggi, sedangkan kelas menengah semakin menurun,” ucap dia kepada KONTAN,” Selasa (15/10). Namun, Fuad mengakui menerapkan pajak kekayaan akan memantik pro dan kontra. Maka butuh kajian yang komprehensif.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdian menegaskan, ketika pajak kekayaab ingin diberlakukan, maka harus dipastikan tidak ada double taxtion. Salah satu objek dari pajak penghasilan adalag tambahan kekayaan yang belum dikenakan pajak, lantas apa bedanya dengan pajak kekayaan,” sebut dia.
Haula memaparkan, bagi yang punya kekayaan berupa tanah dan bangunan, itu tekena pajak bumi dan bangunan (PBB), sedangkan yang memiliki kendaraan juga dikenakan pajak kendaraan. Atas dasar itu, sebelum memberlakukan pajak kekayaan, pemerintah harus melakukan kajian mendalam. “Harus riset dulu, jangan sampai terjadi double tax,” kata dia.
Berdasarkan perkiraan University of Greenwich, Prancis, menunjukan pajak progresif atas kekayaan bersih dapat menghasilkan pendapatan 3% dan 10,8% dari PDB. Hitungan Lembaga Penelitian The Prakasa, Jika tax rate 2%, maka potensi penerimaan yang bisa dikumpulkan mencapai Rp 86,6 triliun, dimana golongan 100 orang terkaya akan menyumbang Rp 55,7 triliun, dan sisanya akan menyumbang Rp 30,9 triliun. Proyeksi itu dengan asumsi sekitar 4.600 orang Indonesia memiliki kekayaan di atas US$ 10 juta atau Rp 144 miliar.
Sumber : Harian Kontan Hal. 2 (Kamis, 17 Oktober 2024)
Leave a Reply