Pembisnis berharap penetuan UMP mengacu PP No. 51/2024, tapi serikat pekerja menolak.
JAKARTA. Hingga saat ini pembahasan upah minimum untuk tahun depan masih bergulir. Pengusaha dan buruh belum mencapai kesepatakan terkait rumusan kenaikan upah pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagai permohonan uji materiil UU Cipta Kerja, termasuk di dalamnya mengenai ketentuan upah.
Kalangan serikat pekerja menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025 tidak memakai formula berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Pengupahan. Beleid yang berlaku sejak 10 November 2023 itu dianggap tak berlaku menyusul putusan MK tersebut.
Di sisi lain, kubu pengusaha tetap berpandangan penetuan upah minimum 2025 masih memakai PP No 51/2023. Kalangan pengusaha juga keberatana jika kenaikan upah terlalu tinggi, seperti yang dituntut oleh buruh yakni di kisaran 8%-10%, karena dinilai bakal membebani industri di tengah ekonomi yang masih berat dan pelemahan daya beli.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha (Apindo) Bob Azam mengatakan, pengusaha tidak menolak rencana kenaikan upah minimum tahun depan. Hanya saja, Apindo meminta dalam penetuan upah kudu mempertimbangkan kondisi ekonomi dan industri. “Kami berharap penetapan UMP 2025 masih mengikuti PP No 51/2023 karena cukup adil untuk upah minimum,” kata dia saat berbincang, Minggu (17/11).
Bob menjelaskan, dengan merujuk PP No 51/2023, besaran kenaikan UMP 2025 mencapai 3,5% dengan asumsi inflasi Oktober 2024 sebesar 1,71% pertumbuhan ekonomi kuartal lll 2024 sebesar 4,95%, dan dengan indeks alfa yang dibapakai 0,10-0,30. Meski kenaikan upahnya 3,5%, nyatanya pengusaha harus menanggung beban biaya upah lebih dari 6%-7%. “Harus di ingat, tidak hanya upah minimum untuk pekerja paling bawah saja yang naik, melainkan pekerja atas dan gajinya lebih besar juga ikut menyesuaikan,” sebutnya.
Kenaikan upah minimum 2025 harus sesuai kondisi ekonomi dan industri.
Apindo tidak sepakat dengan anggapan kenaikan upah yang tinggi maka daya beli meningkat, sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Bob, sejatinya inflasi rendah akibat barang impor murah yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Sementara industri dalam negeri justru terpuruk akibat banjir produk impor murah. “Satu sisi ditekan oleh kenaikan upah untuk mengungkit daya beli, namun di sisi lain industri hancur akibat produk impor,” kata Bob.
Atas dasar itu, Apindo meminta kenaikan UMP tahun 2025 dibarengi pemangkasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Alhasil, pemangkasan pajak itu menjadi stimulus bagi industri untuk mempertahankan kinerja.
Kalangan pekerja tetap menolak penetapan UMP 2025 memakai rumusan PP No 51/2023. “Kami menolak karena tidak sesuai putusan MK,” tandas Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Lagi pula, dalam formula upah versi PP No 51/2023 terdapat indeks tertentu di rentang nilai 0,10-0,30. Indeks ini yang membuat rezim upah murah terus dipertahankan. Dus, buruh menuntut jika masih memakai PP No 51/2023, indeks koefisien sebagai pembagi upah naik menjadi 1,0-1,2.
Dengan asumsi indeks koefisien 1,2 sesuai usulan buruh inflasi Oktober 2024 sebesar 1,71%, pertumbuhan ekonomi kuartal lll 2024 sebesar 4,95%, maka UMP 2025 minimal sebesar 7,65%.
Said menambahkan, kenaikan UMP 2025 hingga 10% bukan tanpa dasar. Sebab, daya beli buruh turun hingga 30% lantaran dalam dua tahun belakangan ini inflasi di kisaran 2,5% sedangkan kenaikan upah hanya 1,6% atau di bawah inflasi. Tak ayal, pendapatan buruh pun tekor.
Sumber : Harian Kontan Senin 18 Nov 2024 hal 14
Leave a Reply