Sejumlah pelaku usaha manufaktur dan retail keberatan atas rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai awal Januari 2025.
Kebijakan ini berpotensi membuat kinerja industri sulit tumbuh di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih tak tentu arah.
Asal tahu saja, rencana pengenaan PPN 12% mengacu ke Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengatakan, kenaikan tarif PPN bakal mengerek harga jual produk di pasar, mengingat PPN adalah bagian dari komponen harga.
Apindo pun mengingatkan pemerintah agar mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari kenaikan PPN tersebut. Apalagi, rencana kenaikan PPN terjadi di tengah daya beli masyarakat yang belum stabil, sehingga tingkat produksi dari sisi pelaku usaha berisiko turun.
Hal ini akan berimbas pula pada berkurangnya permintaan bahan baku. Beban yang ditanggung pelaku usaha pun makin banyak. Selain kenaikan PPN, pengusaha juga dihadapkan beban pungutan lain seperti sertifikasi halal dan pengelolaan limbah
“Kalau bisa ditunda,” ujar dia, Senin (18/11).
Asosiasi Pertekstilan Indo nesia (API) menilai, kebijakan PPN 12% akan semakin mene kan industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Ada kekhawatiran produsen TPT nasional makin sulit bersaing dengan produk impor ilegal yang dijual dengan harga miring di pasar. Padahal, pasar domestik sangat diandalkan bagi pebisnis TPT mengingat pasar ekspor masih lesu.
“Barang impor ilegal akan lebih murah dan para konsumen akan memburu barang tersebut tanpa memikirkan barangnya sudah membayar
PPN atau tidak,” terang Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Senin (18/11).
Sementara Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan Indonesia (Asrim) Triyono Prijosoesilo mengata kan, imbas kenaikan PPN sudah pasti mengerek harga produk minuman ringan.
Sebagai gambaran, harga minuman ringan senilai Rp 3.500 akan naik menjadi Rp 3.535 jika tarif PPN ber ubah dari 11% ke 12%. Namun, harga produk itu berpotensi naik menjadi Rp 3.600 bahkan hingga Rp 4.000 di tingkat eceran.
“Kenaikan harga di tingkat eceran akan mengurangi pen jualan, karena daya beli kon- sumen masih rentan,” katanya, Senin (18/11).
Ancaman sektor ritel
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hipindo) juga meminta kenaikan PPN ditunda, mengingat sekarang sedang dalam tahap pemulihan daya beli masyarakat usai terjadinya deflasi 5 bulan beruntun.
Penerapan PPN 12% akan mengerek harga jual produk ritel di pusat perbelanjaan yang akhirnya membuat konsumen mengurangi pembelian. Risikonya, tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan juga akan merosot.
“Padahal, kami ingin penjualan naik agar bisa menyetor pajak lebih banyak ke pemerintah,” jelas Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah, Senin (18/11).
Sumber : Harian Kontan, Selasa 19 November 2024 (Hal. 13)
Leave a Reply