Kenaikan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 bakal menjadi beban bagi masyarakat luas hingga banyak yang menyuarakan penolakan.
Di tengah protes kenaikan PPN 12 persen, justru Pemerintah dan DPR kini bersiap memberikan lagi pengampunan pajak lewat tax amnesty Jilid III kepada pengemplang pajak.
Rencana tax amnesty Jilid III bagi para pengemplang pajak ini mendapat kritik keras dari pengamat perpajakan apalagi di tengah kondisi masyarakat yang bakal terbebani dengan kenaikan PPN 12 persen mulai tahun depan.
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai bahwa rencana pemberian program tersebut akan mencederai rasa keadilan di kalangan Wajib Pajak yang telah patuh.
Menurutnya, langkah tersebut justru berisiko merusak upaya penegakan kewajiban pajak di Indonesia, lantaran masyarakat akan berpikir bahwa kepatuhan membayar pajak tidak lagi dihargai.
“Pastinya akan membuat Wajib Pajak berpikir buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Selasa (19/11).
Fajry menilai bahwa kebijakan pengampunan pajak di tengah rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan justru akan memperburuk rasa ketidakpuasan masyarakat.
“Saya yakin, rakyat pasti akan murka,” katanya.
Di sisi lain, program tax amnesty yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2016 dan dilanjutkan dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada tahun 2022 dinilai Fajry tidak memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan pajak.
“Kalau pun ada lagi (TA Jilid III), pasti penerimaannya akan lebih kecil dibandingkan PPS tahun 2022 lalu.
Benar-benar kebijakan tidak masuk akal,” imbuh Fajry.

Turunkan Kredibilitas Pemerintah
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai bahwa pemerintah sebaiknya tidak melanjutkan program tax amnesty atau program serupa, setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Ariawan menyebut, ada beberapa alasan penting yang mendasari pandangannya ini, salah satunya adalah potensi menurunnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.
Menurut Ariawan, pemerintah telah menunjukkan ketidakkonsistenan dalam kebijakan perpajakan.
Seperti yang diketahui, pada tahun 2022 lalu, pemerintah mendorong masyarakat untuk mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dengan janji bahwa setelah itu tidak akan ada lagi pengampunan pajak.
Namun, jika tax amnesty kembali digulirkan, ini menunjukkan inkonsistensi yang bisa merusak kepercayaan Wajib Pajak terhadap pemerintah.
“Inkonsistensi ini akan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata masyarakat, termasuk pembayar pajak,” kata Ariawan.
Lebih lanjut, Ariawan mengingatkan bahwa pengulangan program tax amnesty ini akan menciptakan ketidakadilan, terutama bagi Wajib Pajak yang selama ini patuh dan jujur dalam menunaikan kewajiban perpajakannya.
“Bisa jadi, Wajib Pajak yang selama ini patuh akan cenderung berani mengambil risiko untuk tidak patuh karena mereka memiliki alasan ke depan akan ada pengampunan pajak lagi dan lagi,” jelasnya.
Dirinya juga menekankan bahwa kebijakan tax amnesty yang berulang dapat menciptakan persepsi buruk terhadap sistem perpajakan di Indonesia.
“Pengulangan tax amnesty ini juga akan menimbulkan persepsi bahwa Indonesia merupakan negara gagal karena tidak mampu menegakkan aturan hukum dan sistem administrasi perpajakan di negaranya sendiri sehingga harus selalu memberikan amnesty atau pengampunan,” imbuh Ariawan.
Seperti yang diketahui, DPR RI menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk dalam Progtam Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025.
RUU ini menjadi landasan bagi pemerintah untuk kembali menggelar Program tax amnesty Jilid III.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan tetap dilaksanakan tahun depan.
Sebagai informasi, pengenaan PPN 12 persen ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmoniasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan Bapak Ibu sekalian (Komisi XI), sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan,” ujar Sri Mulyani saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (12/11/2024).
Namun demikian, Sri Mulyani menekankan agar penerapan kenaikan tarif PPN ini dibarengi dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat supaya masyarakat memahami alasan tarif PPN dinaikkan.
Ia mengungkapkan, kenaikan tarif PPN bukan kebijakan yang diputuskan tanpa pertimbangan.
Kenaikan PPN diperlukan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sumber : tribunnews.com
Leave a Reply