JAKARTA, Kebijakan Tarif pajak pertambangan nilai (PPN) 12% dan program pengampunan pajak (tax amnesty) pada 2025 adalah kombinasi mematikan bagi reformasi perpajakan di RI. Kedua kebijakan itu juga disebut-sebut hanya akan memberikan dampak buruk dalam jangka panjang.
Seperti yang diketahui, pemerintah akan menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% untuk bisa mengerek penerimaan negara sebesar Rp 75 triliun. Di saat sama pada tahun 2025, pemerintah bakal menjalankan program pengampunan pajak (tax amnesty) bagi mereka pengemplang pajak di masa lalu, untuk ketiga kalinya.
Pemerintah sendiri menargetkan realisasi penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun. Untuk jenis pajak PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) diperkirakan akan mencapai Rp 945,1 triliun. Angka ini tumbuh 13,32% dari outlook realisasi PPN dan PPnBM tahun 2024 yang sebesar Rp 819,2 triliun.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menjelaskan bahwa sejatinya tarif PPN itu masih belum cukup untuk mencapai target APBN tahun depan. Di menyebut, penerimaan PPN perlu mencapai kenaikan setidaknya 23,93%.
“Apalagi meningkatkan PPN sangat berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi sehingga sangat mungkin untuk tidak mencapai tambahan Rp 75 triliun tersebut,” terang Awalil pada Selasa (26/11/2024).
Menurut dia, pemerintah akan mengejar target penerimaan perpajakan dengan menaikkan PPN dan menjalankan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III. Perihal tax amnesty, Bright Institute memperkirakan program tersebut memiliki potensi untuk menambah penerimaan sekitar Rp 80 triliun.
Namun Bright Institute menyayangkan penggunaan tax amnesty sebagai alat untuk mengejar pendapatan dari tebusan. Dalam narasi perencanaannya dulu, tax amnesty punya sasaran utama untuk profiling wajib pajak, sehingga menggali potensi penerimaan tahun-tahun berikutnya karena yang tadinya mengemplang, kemudian bisa ditagih pajaknya secara taat.
“Namun hal tersebut nyatanya gagal dilakukan dalam tax amnesty jilid I dan II, dan sekarang malah digunakan untuk mencari tambahan penerimaan ketika negara kembali desperate. Hal tersebut berdampak fatal bagi reformasi kebijakan,” kata Awalil.
Sumber : investor.id
Leave a Reply