Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan upaya penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) secara multitarif dapat dilakukan tanpa mengubah Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, pemerintah akan melakukan revisi peraturan pemerintah agar implementasi penerapan PPN berjalan mulus.
Bila pemerintah tetap akan menjalankan kebijakan PPN secara multitarif maka harus ada revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2022 dan PP 49 Tahun 2022. Pasalnya dua regulasi tersebut mengatur penerapan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
“Kalau perlu ubah PP ya pasti kita revisi, kan ada PP 44 dan PP 49, yang mengatur pengecualian PPN. Barangkali kalau sampai ke sana kita koordinasi. Namun kan kemarin yang ditugaskan Kemenkeu (Kementerian Keuangan),” ucap Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso di sela-sela acara Indonesia Special Economic Zone Business Forum 2024 di St Regis, Jakarta pada Senin (9/12/2024).
Pemerintah masih menggodok objek-objek pajak yang akan dikenakan tarif pajak secara multitarif. Nantinya penerapan PPN akan yaitu dalam barang mewah yang dikenakan PPN sebesar 12%; objek pajak yang tetap dikenakan PPN sebesar 11%; dan objek pajak yang tidak dikenakan PPN.
Adapun beberapa jenis pajak yang sudah dikenakan pajak penjualan atas barang mewah adalah kendaraan bermotor; kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, totan house, dan sejenisnya; kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga; kelompok balon udara; kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara; dan kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha pariwisata.
Susiwijono mengatakan bahwa sampai saat ini pemerintah masih melakukan kajian lebih lanjut untuk penerapan PPN sebesar 12%. Namun dia menilai penerapan PPN sebesar 12% hanya akan memberikan imbas terhadap PP bukan terhadap UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Kalau selama ini kan listnya di PP aja,” imbuh Susiwijono.
Sebelumnya. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan asumsi tarif PPN yang digunakan di UU APBN 2025 adalah tarif tunggal 12% sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN. Secara eksplisit, ketentuan tarif di UU PPN yang merupakan hasil revisian UU HPP menyatakan bahwa tarif PPN yaitu: sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
“Sistem PPN sesuai UU HPP menggunakan tarif tunggal sehingga jika akan diterapkan multitarif, ketentuan PPN harus direvisi melalui amandemen UU PPN kembali. Caranya bisa melalui proses prolegnas secara normal berupa usulan RUU plus Naskah Akademik atau penerbitan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang),” kata Prianto.
Sementara itu, pemerintah juga dapat mengubah tarif PPN 12% mulai 2025 untuk kembali menjadi 11%. Caranya diatur di Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU PPN dengan tarif paling rendah sebesar 5%dan paling tinggi sebesar 15%. Perubahan tersebut dilakukan melalui penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) oleh pemerintah kepada DPR bersamaan dengan RUU APBN 2025 Perubahan.
“Selanjutnya, DPR membahas dan menyepakati perubahan tarif PPN tsb bersamaan dengan penyusunan RAPBN Perubahan,” tutur dia.
Sumber : investor.id
Leave a Reply