Beban Berat Pemerintah Menggenjot Setoran Pajak

Bayang-bayang shortfall alias realisasi lebih rendah daripada target penerimaan pajak di depan mata. Oleh karena itu, pemerintah harus berjibaku mengamankan kas negara di tengah melambungnya kebutuhan belanja pada tahun depan.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.688,93 triliun hingga akhir November 2024. Angka ini setara 84,92% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Hitungan KONTAN, angka ini hanya tumbuh bersih (neto) 1,05% year on year (yoy).

Berdasarkan kalkulasi KONTAN pula, penerimaan jenis pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), tumbuh 5,99% yoy. Pun dengan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PPB) dan pajak lainnya yang naik 3,02%.

Adapun setoran pajak penghasilan (PPh) migas maupun nonmigas turun masing-masing 8,04% dan 2,03% yoy.

Pekerjaan rumah pemerintah masih berat. Dengan asumsi penerimaan pajak Desember 2024 setara dengan periode yang sama tahun lalu Rp 197,86 triliun, artinya pemerintah hanya akan mengantongi Rp 1.886,79 triliun, alias shortfall Rp 102,11 triliun. Angka itu melebar dibandingkan outlook shortfall pemerintah senilai Rp 67 triliun.

Risiko melebarnya shortfall menambah beban pemerintah untuk mengejar target 2025 yang ditetapkan Rp 2.189,30 triliun, tumbuh 10,08% dari target 2024. Proyeksi ini telah memperhitungkan kenaikan tarif PPN 12%, yang belakangan diputuskan hanya akan berlaku untuk barang mewah saja.

Belum lagi, jika pemerintah benar-benar memberikan pengampunan pajak (tax amnesty). Otomatis, penerimaan pajak 2025 akan terdampak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku masih menghitung dampak kebijakan PPN tersebut. Namun, Menkeu enggan menyinggung ihwal wacana tax amnesty.

Menkeu bilang, selama ini PPN tidak dipungut terhadap sejumlah barang maupun jasa kena pajak, beberapa di antaranya bahan pangan, jasa pendidikan dan jasa kesehatan. Dari kebijakan ini, pemerintah kehilangan penerimaan negara Rp 265 triliun. “Karena sekarang juga ada wacana kenaikan PPN 12% hanya untuk barang mewah, kami sedang menghitung dan menyiapkan,” kata dia.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo menegaskan pihaknya akan melakukan pengawasan dan dinamisasi terhadap sektor ekonomi yang menunjukkan kinerja positif. Misalnya sektor pertambangan dan perdagangan.

Pihaknya juga akan memaksimalkan kinerja di sisa waktu sekitar 20 hari sebelum tutup tahun agar penerimaan sesuai ekspektasi. “Bagaimana kami menguji kepatuhan perpajakan di tahun pajak 2023 dan sebelumnya. Kalau 2024 dengan pengawasan di tahun berjalan itu sendiri,” kata dia.

Perlu terobosan

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memproyeksikan penerimaan pajak tahun ini hanya 93%-94% dari target. Alhasil akan ada shortfall Rp 127,5 triliun. Artinya, pemerintah akan menghadapi tantangan besar dalam mencapai target penerimaan pajak 2025. Dibanding outlook 2024, pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan Rp 327,57 triliun untuk memenuhi target penerimaan pajak di 2025. “Sebuah angka yang sangat besar sekali,” kata dia.

Dibandingkan periode pra pandemi (2014-2019), rerata tambahan penerimaan pajak setiap tahun sekitar Rp 68,62 triliun. Fajry menyoroti bahwa meskipun pada tahun 2022 penerimaan pajak sempat melampaui Rp 400 triliun, banyak faktor yang tidak dapat diulang, seperti lonjakan harga komoditas dan kebijakan pengampunan pajak (PPS).

Fajry mengingatkan pemerintah bahwa upaya ekstra saja tidak cukup untuk mencapai target tersebut. Oleh karena itu, butuh terobosan baru, mengingat tantangan yang dihadapi ke depan, yakni target penerimaan yang sangat besar dalam waktu yang relatif singkat, yakni hanya dalam 12 bulan di tahun 2025.

Sumber : Harian Kontan, Kamis 14 Desember 2024, Hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only