Efek insentif hanya sementara, namun tarif PPN 12% bisa menekan ekonomi jangka panjang
Teka-teki atas kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akhirnya terjawab. Pemerintah bersikukuh mengerek tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
Artinya, beban kenaikan tarif itu adalah setara 9%, lebih tinggi daripada kenaikan upah minimum pekerja yang sebesar 6,5% pada tahun depan. Untuk meredam efek kenaikan tarif PPN, pemerintah menyiapkan paket kebijakan ekonomi pada 2025.
Kebijakan itu menyasar kelompok rumah tangga, pekerja, usaha mikro kecil menengah (UMKM), industri padat karya, industri mobil listrik dan hibrida, hingga sektor perumahan (lihat tabel).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, kebijakan tarif PPN 12% ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. “Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah memberikan stimulus kebijakan ekonomi, yakni bagi rumah tangga berpendapatan rendah PPN ditanggung pemerintah 1%, atau hanya dikenakan tarif 11% saja,” ungkap dia dalam konferensi pers, Senin (16/12).
Pemerintah membeberkan, nilai insentif perpajakan pada 2025 mencapai Rp 445,5 triliun setara 1,83% produk domestik bruto (PDB).
Adapun insentif pembebasan PPN mencapai Rp 265,6 triliun. Misal, PPN dibebaskan untuk sektor makanan Rp 77,1 triliun, insentif untuk mendukung UMKM Rp 61,2 triliun, PPN dibebaskan sektor transportasi Rp 34,4 triliun, PPN dibebaskan atas jasa pendidikan dan kesehatan Rp 30,8 triliun.
Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengharapkan stimulus ekonomi terbaru bisa membantu masyarakat kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli. “Kita perlu mendukung kelas menengah,” kata dia, kemarin.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah di Indonesia pada 2024 sebanyak 66,35% dari total penduduk Indonesia. Nilai konsumsi pengeluaran dari kedua kelompok ini mencakup 81,49% dari total konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, kelas menengah memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional.
Namun demikian, efek insentif fiskal yang digulirkan pemerintah dianggap kurang signifikan dan serba tanggung dalam mengungkit daya beli masyarakat. Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya mengungkapkan, insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP) memang akan tetap berlanjut untuk produk properti (rumah tapak dan rumah susun) dengan harga jual hingga Rp 5 miliar pada 2025.
Artinya, pada tahun depan diskon PPN 100% baru berlaku untuk harga properti di atas Rp 5 miliar (dengan batas pengenaan pajak Rp 2 miliar). Namun kendalanya, kebijakan ini berlaku hanya untuk properti ready. Otomatis hanya sebagian kecil yang mendapatkan insentif itu dan umumnya pengembang besar yang bisa memanfaatkannya.
Alhasil, kondisi ini semakin memberatkan penjualan properti nonsubsidi karena berpotensi tetap terkena tarif PPN 12%. Pasalnya, persyaratan properti yang mendapatkan PPN-DTP hanya untuk unit tersedia (ready stock). “Transaksi seperti itu sangat sedikit, paling hanya 5%,” sebutnya. Karena itu, REI meminta PPN-DTP berlaku untuk rumah inden.
Kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga dinilai setengah hati lantaran bersifat jangka pendek dan tidak ada kebaruan. “Bersifat temporer seperti diskon tarif listrik dan bantuan beras 10 kg yang hanya berlaku dua bulan. Sementara efek negatif kenaikan tarif PPN 12% berdampak jangka panjang,” sebut Direktur Eksekutif. Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet membeberkan, beberapa tantangan yang perlu dicermati pemerintah antara lain terkait durasi bantuan yang singkat, seperti diskon listrik dan bantuan pangan yang hanya berlaku dua bulan pertama 2025. “Mungkin kurang memadai mengingat dampak kenaikan PPN akan berlangsung sepanjang tahun,” ungkap dia.
Yusuf menuturkan, kenaikan tarif PPN 12% untuk barang di luar kebutuhan pokok juga berpotensi menciptakan efek berantai yang bisa mendorong kenaikan harga secara umum. “Sehingga diperlukan kebijakan pengendalian inflasi yang lebih komprehensif,” tandas dia, yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2025 berkisar 4,8% hingga 5%.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky berpendapat, daya beli tetap akan menurun meski beberapa kebijakan stimulus ekonomi bisa sedikit membantu. Terobosan dari pemerintah yang sebenarnya lebih diharapkan adalah kebijakan yang memberikan stimulus langsung ke sektor riil. “Bisa membantu kondisi sektor riil (beberapa industri) agar PHK massal tidak berlanjut,” jelas dia, kemarin.
Sumber : Harian Kontan, Selasa 17 Desember 2024 (Hal. 1)
Leave a Reply