Kebijakan tax amnesty dan family office kontradiktif dengan upaya memacu penerimaan pajak
Di tengah tren meningkatnya ketimpangan ekonomi, pemerintah menyiapkan kebijakan pajak yang dianggap pro terhadap orang superkaya. Kebijakan itu antara lain tax amnesty jilid III dan family office.
Ihwal aturan family office atau firma pengelola kekayaan crazy rich, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto agar kebijakan itu bisa bergulir pada Februari 2025.
Luhut tidak ingin Indonesia kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia yang sudah lebih dulu membangun family office. Oleh karena itu, ia menyebut pemerintah Indonesia akan memberikan insentif yang lebih kompetitif dibandingkan Malaysia. “Mereka kasih insentif yang sangat kompetitif. Kita harus, kalau engga, kita kalah,” kata Luhut, Rabu (15/11).
Di saat yang sama, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan juga sedang menggodok program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III. Pemerintah memang akan menggulirkan tax amnesty jilid III mulai 2025. Hal ini ditandai pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Sejumlah pengamat berpendapat, tax amnesty jilid III dan family office justru kontradiktif dengan rencana pemerintah memacu penerimaan pajak. Kebijakan ini juga dianggap tidak mencerminkan keadilan.
Direktur Eksekutif The Prakarsa, Ah Maftuchan, membeberkan beberapa kerugian apabila pemerintah tetap menjalankan family office.
Misalnya, family office yang umumnya digunakan keluarga superkaya, dinilai berpotensi menjadi sarana penghindaran pajak. Tujuan utama keluarga superkaya membuat family office adalah melindungi kekayaan keluarga agar tidak kena pajak, juga agar urusan pribadi anggota keluarga superkaya dapat dilindungi/difasilitasi tanpa hambatan.
Di saat yang sama, family office tidak menjamin investasi langsung (FDI) bakal mengalir deras. Maftuch mencotohkan praktik di Dubai, di mana family office kerap dilakukan investasi di luar negara tersebut. Sebut saja Digi Investment yang bergerak di bidang fintech dan lainnya namun lokasi investasinya di Indonesia. Begitu pula Klien Capital yang bergerak di bidang makanan dan peralatan pertanian, tapi lokasi investasinya di Amerika Serikat.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti kebijakan tax amnesty. Dia menganggap tax amnesty jilid II beberapa tahun lalu tidak hanya gagal mencapai target penerimaan pajak, tetapi juga menciptakan pola perilaku yang tidak mendukung kepatuhan pajak di kalangan pelaku usaha. Alih-alih patuh, mereka memilih mengemplang pajak sembari menunggu program baru yang memberikan pengampunan.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai tax amnesty dan family office merupakan sebuah kebijakan yang tidak berkeadilan. “Baru sehari lalu BPS mengumumkan kalau tingkat ketimpangan kita meningkat. Sangat ironis,” kata dia, kemarin.
Fajry menyebut, pajak khususnya pajak penghasilan (PPh) seharusnya menjadi mekanisme distribusi yakni mengambil dari kelompok kaya untuk diberikan ke kelompok bawah. Di sisi lain, dia juga menilai dua kebijakan itu dapat merugikan Presiden Prabowo dalam memenuhi janji politiknya, khususnya untuk membiayai program makan bergizi gratis.
Para penggede Jarang Bayar Pajak Tarif Progresif 35%
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menyoroti fenomena minimnya pengusaha besar yang membayar pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) dengan tarif tertinggi sebesar 35%.
Menurut itu, hal itu disebabkan strategi tax planning yang dilakukan para penggede untuk menghindari tarif pajak progresif. “Dugaan saya, yang bayar sampai 35% itu para direksi perusahaan besar (bukan pemilik perusahaan),” ujar Agus, Selasa (14/1).
Dia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki dua mekanisme pengenaan PPh, yaitu tarif progresif dan PPh final.
Nah, tarif progresif berlaku untuk penghasilan yang dihitung berdasarkan lapisan pendapatan, dengan tarif tertinggi mencapai 35%. Sedangkan, PPh final dikenakan dengan tarif tetap (flat rate) berdasarkan penghasilan bruto.
Ia mencontohkan, penghasilan dari capital gain penjualan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) hanya dikenakan PPh final sebesar 0,1% dari harga jual.
Sumber : Harian Kontan, Jum’at 17 Januari 2025, Hal 2
Leave a Reply